oleh:

Brigjen TNI Purn. Dr.dr. Soroy Lardo, SpPD KPTI FINASIM

Direktur UPNVERI- UPN Veteran Health Research Institute

Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi RSPAD Gatot Soebroto

Makalah Indonesian Grass Root Meeting on Antimicrobial Stewardship (INDOGRAM)-2022

website: soroylardo.com – upnveri.com

Pendahuluan

            Penyakit infeksi saat ini memasuki era transboundary diseases dalam kerangka arsitektur kesehatan global, tidak semata memiliki makna klinis dan komunitas, namun penyebarannya sudah menembus sekat multisektoral kehidupan dan wilayah antar negara. Transmisi bakteri, virus, parasit berkembang sebagai suatu perjalanan penyakit yang tidak berdiri sendiri, terkait dengan paradigma interaksi agent – host – environment.

           Paradigma interaksi agent-host-environment tentunya memerlukan pendekatan baru, mengingat Pandemi Covid dengan multivariat perjalanan klinis (asimtomatik – simtomatik) dan imunopatogenesis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pandemi Covid memberikan pembelajaran penting pemahaman dinamik perjalanan infeksi terhadap adaptasi host terkait komorbiditas.

          Komorbiditas setidaknya menjadi kepedulian kita, yang selama ini dalam rutinitas di rawat jalan mengelola pasien penderita diabetes, jantung, hipertensi dan autoimun sebagai proses klasik. Pandemi Covid membuka lateral berpikir, infeksi virus dengan progres infeksi-nya menggerus disfungsi imunitas komorbiditas menuju ko-infeksi bakteri yang memberat.

       Ko-infeksi atau perjalanan adanya infeksi dalam perawatan adalah suatu keniscayaan, mengingat infeksi nosokomial tetap menanti untuk muncul, menjadi krusial jika perjalanannya menuju resistensi antibiotik.

       Bagaimana dengan tatalaksana terkait perubahan pemberian antibiotik intravena menuju oral? Mengkaji tantangan dan problematika yang diuraikan diatas, merupakan pekerjaan rumah kita bersama, terkait dengan upaya meningkatkan angka kesembuhan pasien dari rawat inap /ICU menuju rawat jalan

Perkembangan Penyakit Infeksi

        Penyakit infeksi sampai saat ini merupakan masalah nasional dan global yang semakin kompleks, menjadi perhatian berbagai pihak baik struktural pemerintah maupun keterlibatan partisipasi masyarakat, sejak merebaknya kejadian luar biasa pandemi covid dan gagal ginjal akut. Dua faktor utama menentukan tata kelola kebijakan infeksi yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan, tingkat kepadatan penduduk, vektor penyakit, makanan dan minuman yang terpapar mikroorganisme. Faktor internal terdiri atas tingkat pendidikan yang memengaruhi, status nutrisi, status ketahanan tubuh inang, perilaku hidup sehat, genetik, intensitas infeksi, lama infeksi, keberadaan penyakit lain yang mendasari dan memengaruhi ketahanan tubuh individu (diabetes melitus, gagal ginjal kronis, penyakit hati kronis, penyakit keganasan, dan penyakit autoimun).1

       Resistensi antibiotik di negara berkembang dan negara maju merupakan masalah global ditandai dengan meningkatnya angka kematian. Terdapat dua juta penduduk yang mendapat infeksi bakteri akut di rumah sakit Amerika Serikat dan 70 % patogen resisten sedikitnya terhadap satu antibiotik. Interaksi mikroba dengan antibiotika yang disertai dengan munculnya bakteri kebal antimikroba akan berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan kesehatan. Perkembangan yang begitu cepat penyebaran dan pertahanan bakteri kebal merupakan problematika multidimensi yang disebabkan oleh dua hal, yakni penggunaan antibiotika yang berlebihan dan kurang rasional, dan perilaku yang kurang aseptis, khususnya pada sistem perawatan penderita infeksi di rumah sakit.2,3

           Penyakit infeksi dan global warming merupakan hot issue saat ini, terutama dengan meningkatnya kasus malaria dan dengue. Perubahan iklim meningkatkan populasi nyamuk sebagai salah satu proses penting transmisi. Global warming (GW) atau pemanasan global merupakan isu penting saat ini. GW merupakan bagian dari perubahan iklim secara global, di mana terjadi peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Menurut International Panel on Climate Change (IPCC), kondisi ini terjadi akibat peningkatan aktivitas gas rumah kaca sebagai kontributor pemanasan global. Efek gas rumah kaca dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik mo­dern, peternakan, dan pembangkit listrik. Dampak yang timbul dari pemanasan global tersebut, terjadinya perubahan cuaca regional, kontaminasi mikrobial, dan lingkungan.2,4

Pemahaman Interaksi Agent-Host– Lingkungan dengan Antimikroba

         Agent (kuman), host (pejamu) dan faktor lingkungan memiliki peran yang saling memengaruhi perjalanan infeksi dan keberhasilan pengobatan. Bakteri memiliki ciri patogenitas saat memasuki organisme host dengan permukaan mukosa (respirasi, saluran cerna dan saluran kemih) dan kulit sebagai tempat masuk. Proses masuknya mikroba biasanya bergantung pada keberadaan faktor-faktor spesifik yang diperlukan untuk persistensi dan pertumbuhan jaringan.5

       Patogenesis infeksi bakteri diawali dengan perlekatan yang dilanjutkan dengan kolonisasi pada sel inang yang cocok. Tropisme (kecocokan dari sel tempat melekat bakteri tersebut), dihubungkan dengan kemampuan bakteri untuk membersihkan daya pertahanan mukosa dan masuk ke dalam sel pejamu dan produksi dari bahan metabolisme yang merugikan, dapat digunakan untuk membedakan dengan bakteri komensal.5

        Interaksi agent dan host dimulai dengan interaksi mikroba dengan permukaan mukosa/epitel pada inang multiseluler, sebagai mekanisme pertahanan permukaan mendeteksi kehadiran patogen dan berkontribusi terhadap eliminasi. Patogen yang bertahan dari faktor-faktor ini, bersaing dengan respon host endocytic, fagositik, dan inflamasi serta dengan faktor genetik pejamu, menentukan sejauh mana patogen dapat bertahan dan tumbuh. Gen varian oleh polimorfisme nukleotida tunggal dapat memengaruhi kerentanan host dan ketahanan terhadap infeksi yang berkembang dengan cepat. Respon host yang ditimbulkan oleh patogen sering melemahkan patologi infeksi tertentu. Peradangan lokal menghasilkan kerusakan jaringan lokal, sementara peradangan sistemik, seperti yang terlihat selama sepsis, dapat menyebabkan tanda dan gejala syok septik.5

            Interaksi agenthost dan antimikroba berhubungan dengan resistensi patogen, merujuk terhadap menurunnya kepekaan antibiotik yang digunakan. Mekanisme terjadinya resistensi merupakan mekanisme alamiah bakteri untuk bertahan hidup, sebagai penanda tidak terganggunya kehidupan sel mikroorganisme dengan pemberian antimikroba. Tipe resistensi bakteri terhadap antibiotik bersifat non genetik, yaitu bakteri dapat mengalami resistensi intrinsik spesifik terhadap antibiotik, atau resistensi secara genetik melalui mutasi spontan (resistensi kromosomal) atau transfer gen antara bakteri atau faktor R atau plasmid (resistensi silang).6,7

Komorbid sebagai Kerentanan Infeksi

            Sindroma Metabolik sebagai penyakit tidak menular (PTM) merupakan ancaman kesehatan global, tidak semata di dunia barat. WHO mendefinisikan sebagai kondisi patologis yang ditandai dengan obesitas perut, resistensi insulin, hipertensi, dan hiperlipidemia. Prevalensi sindroma metabolik seringkali lebih banyak terjadi pada populasi perkotaan di beberapa negara berkembang daripada di negara-negara Barat.8

        Penyakit metabolik menggambarkan suatu kondisi kompleksitas klinis, epidemiologis, biomolekuler dan imunologi. Kompleksitas ini memberikan suatu perspektif, komorbid penyakit tidaklah sesederhana yang selama ini kita amati. Beragam variabel yang harus kita pertimbangkan terkait dengan kerentanan untuk terjadinya infeksi. Misalnya, penderita diabetes tipe 2 dengan kadar gula tidak terkontrol memiliki kerentanan untuk terjadinya infeksi, diantaranya Tbc dan Infeksi saluran kemih dengan bakteruria asimtomatik. Kerentanan terjadinya infeksi pada diabetes tidaklah berdiri sendiri, diawali adanya mekanisme imunologi bersamaan dengan dislipidemia membentuk atheroma yang merupakan awal komplikasi kardiovaskuler dengan penyebab terbesar aterosklerosis.9

            Penurunan fungsi fagositosis akan memicu ekspresi faktor virulensi bakteri patogen diawali dengan perlekatan yang dilanjutkan dengan kolonisasi pada sel inang yang cocok. Tropisme (kecocokan dari sel tempat melekat bakteri tersebut) yang dihubungkan dengan kemampuan bakteri untuk membersihkan daya pertahanan mukosa, masuk ke dalam sel pejamu dan memproduksi bahan metabolisme yang merugikan. Kolonisasi bakteri patogen akan memicu ekspresi faktor virulensi untuk terjadinya keradangan lokal atau invasif, melalui pola bakterial kompleks oleh sistem imun tubuh sebagai pathogen associated molecular patterns (PAMPs), proses ini akan menandai penentuan struktural bakteri bertanggung jawab inisiasi proses sepsis.10-12

Resistensi antibiotik dan implikasi klinik

       Saat ini Multi drug resistance (MDR) antibiotik sudah menjadi ancaman kesehatan global dan kesehatan masyarakat yang berdampak terhadap sosial ekonomi, dengan konsekuensi merusak kesehatan jutaan orang, jika langkah konkrit tidak diambil untuk mengatasinya. Penggunaan antibiotik yang tepat menjadikan upaya preventif dan kuratif sangat penting untuk keberhasilan mengatasi MDR dan intervensi terhadap resistensi, minimal memperlambat laju terjadinya MDR.13

           Menurut CDC 2016 terdapat enam jenis MDRO yang paling banyak menginfeksi pasien di tempat pelayanan kesehatan yaitu: Carbapenemase resistance Klebsiella pneumonia (CRKP), Multi drug resistance Acinetobacter (MDRAB), Extended Spectrum Betalactamase (ESBL), Multi drug resistance Pseudomonas aeruginosa (MD-PSA), Vancomycin resistance Enterobacteriaceae (VRE) dan Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA) dengan ancaman yang mendesak yaitu Carbapenem resistance Enterobacteraceae (CRE).15

            Pemahaman MDRO memberikan implikasi klinik suatu gambaran kompleksitas dalam manajemen antibiotik di tingkat rawat inap dengan berbagai interaksi yang terlibat yakni virulensi, adaptasi host dan mutasi yang terjadi. Strategi antibiotik berbasis kultur dan perubahan klinis perlu didukung oleh imunopatogenesis dan pengembangan penatagunaan antibiotik di rumah sakit, merupakan parameter penting dalam manajemen perubahan antibiotik intravena, termasuk proses peralihan antibiotik oral untuk rawat jalan.

Beberapa kajian transfer infeksi intravena dengan oral

            Sejak bertahun-tahun sebelumnya, budaya pemberian antibiotik melalui jalur intravena (IV) merupakan pola yang berjalan kontinu, namun saat ini telah terjadi peningkatan kepercayaan diri dan pengalaman penggunaan antibiotik oral. Peralihan antibiotik intravena ke oral dapat meningkatkan manajemen rawat inap dan mengurangi lama tinggal di rumah sakit dan komplikasi pengobatan intravena, terkait dengan efektivitas perubahan pengobatan. Terapi penggantian antibiotik intravena-ke-oral dini didefinisikan sebagai peralihan yang terjadi dalam 5 hari setelah dimulainya IV, berdasarkan periode waktu adanya data mikrobiologis, kultur darah yang diperoleh dalam waktu 72 jam, untuk kasus bakteriemia, setelah memulai pengobatan antibiotik.16,17

        Salah satu penyakit infeksi yang secara efektif dengan pola terapi IV ke PO (per-oral) adalah pneumonia yang didapat masyarakat (CAP). CAP memiliki hasil/tingkat kesembuhan yang sebanding dengan pasien yang diobati dengan antibiotik IV. Faktor keberhasilan ditentukan oleh elemen penatagunaan antibiotik (ASP) sebagai komponen kunci inisiatif peralihan IV ke PO. 16

         Penelitian ini terdiri dari dua kohort: kohort prospektif untuk menilai keefektifan algoritma penggantian antibiotik intravena-ke-oral berurutan dan pemulangan dini, dan kohort retrospektif di mana algoritma belum diterapkan, digunakan sebagai pembanding. Sebanyak 247 pasien yang dapat dievaluasi dilibatkan; 115 pada kohort prospektif dan 132 pada kohort retrospektif. Empat puluh lima pasien retrospektif (34%) tidak diganti dengan antibiotik oral, dan 87 (66%) diganti dengan antibiotik oral tanpa mengikuti algoritma yang diusulkan.17

         Durasi rawat inap secara signifikan lebih pendek pada kohort prospektif dibandingkan dengan kelompok retrospektif yang tidak beralih ke obat oral (16,7 ± 18,7 vs 23 ± 13,4 hari, p<0,001). Tidak ada perbedaan yang diamati mengenai kejadian bakteremia terkait kateter (4,4% vs 2,6%, p= 0,621). Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penggantian antibiotik intravena-ke-oral efektif untuk mengurangi lama rawat inap pada pasien rawat inap tertentu dengan infeksi gram positif.17

            Pada kelompok pembanding retrospektif, berdasarkan data farmasi digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang telah diresepkan pengobatan IV dengan glikopeptida, lipopeptida, atau linezolid selama lebih dari 72 jam. Pada kelompok kohort prospektif, mikrobiologi harian dan/atau laporan antibiotik farmasi digunakan untuk mengidentifikasi kandidat potensial untuk dimasukkan di antara pasien rawat inap dengan infeksi gram positif yang dikonfirmasi.17

        Pasien dalam kohort retrospektif yang telah dikonversi ke pengobatan antibiotik oral tanpa mengikuti algoritma yang diusulkan terutama dipengaruhi oleh infeksi osteoartikular (32 dari 34 kasus, 94 %), infeksi kulit dan jaringan lunak (16 dari 22 kasus,73 %), infeksi pernafasan (9 dari 14 kasus, 65 %), dan infeksi saluran kemih (12 dari 20 kasus, 60 %). Kohort retrospektif termasuk persentase yang lebih tinggi dari infeksi aliran darah (26, 57,8% vs 16, 17,6%, p <0,001) dan infeksi terkait kateter (15, 33,3% vs 5, 4,3%, p <0,001).17

          Semua pasien dalam kelompok prospektif dialihkan ke terapi antimikroba lanjutan oral dengan satu atau lebih antibiotik berikut: linezolid 63 (55%), kotrimoksazol 38 (33%), levofloksasin 14 (12%), dan klindamisin 11 (9,5%). Pada 48 pasien (42%) dengan infeksi osteoartikular, rifampisin diberikan bersama sebagai bagian dari rejimen antibiotik. Terdapat 59 calon pasien (51%) yang diperbolehkan pulang lebih awal. Meskipun demikian, terdapat penurunan lama rawat inap pada pasien dibandingkan dengan kohort retrospektif (16,7 ± 18,7 vs 23,0 ± 13,4 hari, p< 0,001).17

          Hasil penelitian ini mengkonfirmasi keefektifan algoritma terapi penggantian antibiotik intravena ke oral dalam hal mengurangi lama rawat inap dan durasi terapi antibiotik intravena pada pasien sesuai dengan diagnosis yang disertakan, kecuali pasien dengan infeksi osteoartikular, lamanya rawat inap sebanding dengan pasien yang beralih atau tidak. Dalam satu studi acak, 50% pasien yang awalnya diobati dengan antibiotik parenteral memperbaiki rejimen setelah 3 hari terapi, dan modifikasi ini menghasilkan hasil klinis yang baik dengan pengurangan substansial dalam pengeluaran antibiotik. Komplikasi terkait kateter sering tidak dilaporkan di bagian medis, dan ini sebagian dapat menjelaskan rendahnya insiden bakteremia terkait kateter pada pasien retrospektif. Hal ini dapat dianggap sebagai keterbatasan penelitian. Kesimpulan penelitian ini mengungkapkan bahwa terapi penggantian antibiotik intravena ke oral adalah pendekatan yang berguna untuk mengelola pasien rawat inap terpilih dengan infeksi gram positif, secara aman mengurangi lama tinggal di rumah sakit dan perawatan intravena.17

Model Pendekatan ‘Antibiotic Stewardship Program’

        Model pendekatan ASP dalam transfer antibiotik IV ke PO, dibagi berdasarkan beberapa faktor yang memengaruhi dan stratifikasi fasilitas pelayanan yang tersedia. Pendekatan tentunya akan berbeda untuk pasien-pasien infeksi di Unit Gawat Darurat rumah sakit daerah dan rumah sakit rujukan, terkait dengan pola infeksi dan beratnya komorbiditas. Pola infeksi di rumah sakit rujukan ditandai dengan infeksi berat dan risiko infeksi nosokomial dengan peta penyebaran kuman laten, berpotensi resistensi terhadap antibiotik yang diberikan.

         Keuntungan Switch Therapy dari IV ke oral adalah (1) Biaya asuhan medik dan perawatan lebih murah, (2) Penderita merasa lebih nyaman, (3) Mengurangi infeksi nosokomial dan lebih efektif. Switch Therapy dilakukan jika terdapat perbaikan klinis penderita dengan antibiotik intravena. Pada umumnya pada penderita infeksi serius akut, terjadi pada hari ke-tiga pengobatan iv, kemudian terapi di switch dengan antibiotik oral sampai 5-14 hari. Sebagai contoh switch therapy penderita CAP berdasarkan gambar dibawah ini:

Kesimpulan

            Strategi kebijakan terapi antibiotik Intravena ke oral merupakan tata kelola yang ditujukan untuk mengoptimalkan transisi antibiotik terkait dengan efektifitas perubahan pengobatan yang berimplikasi klinis dan pelayanan yakni meningkatkan manajemen rawat inap dan mengurangi lama tinggal di rumah sakit.

Daftar Pustaka

  1. Nasronudin. Strategi Penganggulangan Infeksi dan Peran ITD. Dalam: Hadi. U, Vitanata. MTriyono. E. A, Bramantono, Suharto et al (Eds). Penyakit Infeksi di Indonesia dan Solusi Kini Mendatang. Airlangga University Press, 2011.h.1-4
  2. Zulkarnain, I. Infectious Diseases: from History to Future Challenge. Dalam The1st Jakarta Antimicrobial Update 2010. Division Tropical Diseases and Infectious Diseases FKUI.h.3-4
  3. Kuntaman, Harsono.S, Mudihardi.E, Debora.K, Lusida. M.I.L. The Emerging Trend in Resistant Hospital Pathogen Microbials. Dalam. Dalam: Hadi. U, Vitanata. M Triyono. E. A, Bramantono, Suharto et al (Eds). Penyakit Infeksi di Indonesia dan Solusi Kini Mendatang. Airlangga University Press, 2011.h.279-84
  4. Hadisaputro, S. Global Warming and Incidence of Tropical Infectious Diseases. Dalam: Meningkatkan Mutu dan Pelayanan Prima di Bidang Penyakit Tropik-Infeksi dalam menyongsong Era Globalisasi. Buku Prodising Kongres Nasional PETRI Surabaya. Departemen Penyakit Dalam FK UNAIR, 2009.h. 30-40
  5. Pier GBRR. 77. Pseudomonas aeruginosa. In: Principles and practice of infectious diseases. Second Edi. New York: Churchill Livingstone; 2010. p. 2835-57.
  6. Astrawinata D. JADE.pdf. In: R.H.H Nelwan, Joko Widodo IZ, editor.  Emerging Resistance Pathogen in Healthcare-Associated Infections. Jakarta
  7. Perdana Rizki. Mekanisme Resistensi Antibiotik.pdf. In: Priambodo Donni HR, editor. Mekanisme Resistensi Bakteri. Yogyakarta: Konas Petri; 2015. h. 36–46.
  8. Effendi, C. Immunology of Diabetic Vascular Complication: Basic Concept. Dalam Tjokroprawiro.A, Sutjahjo.A, Pranoto.A, Murtiwi.S, Soebagijo.A (Eds). Naskah Lengkap Metabolic Cardiovascular Disease Surabaya Update-2 -Surabaya Metabolic Syndrome. Perekeni Surabaya, 2008.h.212-20
  9. Waspadji, S. Aspek Imunologi Kaki Diabetes. Dalam: Setiati.S, Sudoyo.AW, Alwi.I, Bawazier.LA, Seojono.CH, Lydia.A. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2000. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2000.h.121-40
  10. Ramphal R MD. Sepsis Syndrome. In Southwick F Ed: Infectious Diseases a Clinical Short Course. McGraw Hill 2007. pp 57-65
  11. Silva E, Passos Rda H, Ferri MB FL. Sepsis: from bench to bedside. Clinics (Sao Paulo). 2008;63.
  12. World Health Organization. (‎2009)‎. The new edition is dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and control. World Health Organization. https://apps.who.int/iris/handle/10665/44188
  13. Campbell J, Sprenger M. WHO | WHO Competency Framework for Health Workers’ Education and Training on Antimicrobial Resistance. World Health Organization. WHO; 2018
  14. Karam G, Chastre J, Wilcox MH, Vincent JL. Antibiotic strategies in the era of multidrug resistance. Crit Care. 2016;20(1):1-9.
  15. US Department of Health and Human Services – CDC. Antibiotic resistance threats. Cent Dis Control Prev. 2013;22–50.
  16. Cheston B. Cunha, MD, FACP. Antimicrobial Stewardship Program Perspective: IV-to-PO Switch Therapy. Rhode Island Medical Journal. June 2018.
  17. D. Rodriguez-Pardo. C. Pigrau1. D. Campany. V. Diaz-Brito.L. Morata.et.al. Effectiveness of sequential intravenous-to-oral antibiotic switch therapy in hospitalized patients with gram-positive infection: the SEQUENCE cohort study. Eur J Clin Microbiol Infect Dis (2016) 35:1269-76.
  18. Soewondo, E.S. Switch Therapy Penggunaanya untuk Terapi Penyakit Infeksi.Dalam: Suharto, Hadi.U, Nasronudin (Eds). Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Airlangga University Press, 2022. H. 99-112
  19. Guidelines Maidstone and Turnbridge Well Hospitals. https://www.formularywkccgmtw.co.uk/media/1380/adult-iv-to-oral-antibiotic-switch-guidelines.pdf. Developed and approved by: Trust Antimicrobial Stewardship Group (November 2018) Updated: November 2020.Naskah Lengkap PDF Strategi Perubahan Antibiotik Intra Vena Menuju Antibiotik Oral di Era Resistensi Antibiotik
Bagikan