Hospital Based dan Nurse Community Sustanaibility Development

oleh :

Soroy Lardo

Pendahuluan

        Pola asuhan keperawatan pasien merupakan salah satu pilar penting akreditasi rumah sakit. Asesmen pasien (AOP) dan Perawatan pasien (COP) adalah dua jaring pelayanan yang saling menguatkan dalam keseharian pelayanan, terkait dengan standarisasi, optimalisasi dan aksesabilitas pelayanan. AOP sebagai alat ukur efektif keputusan yang tepat kesinambungan pasien sebagai proses yang dinamis terhadap varian pelayanan yaitu data, analisis pemeriksaan dan perencanaan saat akan menjalani rawat inap. Proses ini sudah diinisiasi sejak pasien memasuki unit gawat darurat. Sedangkan COP menjadi alat ukur multi dimensi varian pelayanan terkait dengan integrasi pola perawatan (preventif, paliatif, kuratif dan rehabilitatif) yang terukur dalam satu bangunan perencanaan, pemantauan, modifikasi perawatan dan rencana tindak lanjut.

         Peran perawat dalam AOP dan COP menjadi titik sentral nuansa pelayanan dengan karakteristik yang berbeda (strata rumah sakit). Konsepsi dan peran perawat yang pada awalnya bersifat vokasi untuk melayani, dengan perkembangan zaman menggerakkan dinamika keilmuan yang terus berubah diantaranya interaksi dengan bidang sosiomedis, dimana konteks inferioritas pada awal sejarahnya berubah menjadi paradigmatik kesetaraan.

Paradigmatik Sejarah Keperawatan

      Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 1982 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) bab VI, tentang Sumber Daya Manusia yang dibutuhkan, digambarkan proyeksi kebutuhan tenaga kesehatan pada tahun 2000 berupa tenaga profesional kesehatan, profesional non kesehatan dan tenaga sukarela. Dalam SKN secara lebih khusus ditonjolkan pula  masalah banyaknya tenaga perawat dan bidan yang belum termanfaatkan secara maksimal. Besarnya perhatian terhadap sumber daya manusia bidang kesehatan dan besarnya jumlah perawat dalam seluruh sumber daya tersebut, menunjukkan betapa penting peran dan fungsi perawat dalam upaya pelayanan kesehatan dan pembangunan kesehatan nasional.

      Tinjauan tentang keperawatan mengikuti jalan panjang proses kebangsaan sampai saat ini, sejak perjuangan kemerdekaan sampai dengan orde reformasi. Fase kemerdekaan terutama perang gerilya yang dipimpin oleh Jendral Sudirman menjadi titik awal kebutuhan pelayanan kesehatan terutama perawat Tentara Kesehatan Rakyat (TKR) yang berkemampuan bergerak dari satu titik juang menuju titik juang berikutnya. Fungsi dan peran perawat TKR telah mengisi tinta sejarah bahwa perjuangan kemerdekaan memerlukan prajurit yang terjaga kesehatannya, walaupun saat itu memiliki sarana penunjang dan logistik yang minim. Keberadaan perawat TKR ini berkembang menjadi dua sisi, yaitu terbentuknya organisasi kesehatan TNI (Jankesad) dan ide teritorial di masyarakat melalui babinsa.

Saat orde baru perkembangan perawat melewati turning point sejak dicanangkannya pembangunan kesehatan berkelanjutan di masyarakat melalui keberadaan puskesmas di berbagai pelosok, mengikuti konsep dan berkembangnya spirit jejaring primary health care negara – negara berkembang misalnya program dokter telapak kaki (foot doctor). Fase sebenarnya mengagendakan konsep mantri cacar ataupun deskripsi mantri yang membuka praktek di desa-desa diberdayakan melalui proses pendidikan yang berkelanjutan yaitu sekolah mantri cacar tahun 1820 di Batavia, pendidikan perawat dasar tahun 1920,  Akademi Perawat tahun 1964 dan Tahun 1985 Fakultas Kedokteran di beberapa Universitas Negri membuka Program Studi Sarjana Keperawatan.

       Saat ini di era milenial, paradigma sejarah keperawatan sudah memasuki era digital. Dengan akselerasi yang tinggi dan meningkatnya lulusan S2 dan S3 keperawatan, maka konseptualisasi fungsi hubungan dokter dan perawat menuju kepada kesetaraan. Kedua profesi ini menjalani suatu proses jatuh bangun dinamisasi dalam mengembangkan keilmuan terkait ilmu pengetahuan kedokteran, ilmu pengetahuan sosial dan perilaku sebagai kajian dan antisipasi kecenderungan perkembangan keperawatan sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah.

           Negara kita dengan kemajemukan memerlukan peran kesejarahan perawat di masa depan dalam pengembangan ilmu dan profesi keperawatan, kaitannya  dengan kegiatan berjenjang dari  puskesmas sampai dengan stratifikasi rumah sakit rujukan tertinggi.

Paradigmatik Peran dan Fungsi Perawat

      Peran dan fungsi perawat secara transedental tidaklah sesederhana jika kita melihat keramahan dan kesantunan dalam keseharian melayani pasien. Sikap dan perilaku yang terbentuk merupakan suatu perjalanan pendidikan dan pelatihan nurani berbasiskan konsep ilmiah yang kompleks dan mendalam melibatkan bidang lain yaitu ilmu pengetahuan sosial, budaya dan perilaku. Beberapa aspek yang dapat dikaji yaitu (1) Seni dan Panggilan dan (2) Keperawatan Profesional

Seni dan panggilan merupakan filsafat yang dikembangkan oleh Florence Nightingale yang membuka peradaban merawat sebagai nilai adat menjadi suatu nilai cinta kasih. Konsep ini menjadi spirit perawat di Indonesia untuk melayani pasien baik di dalam maupun diluar rumah sakit. Peran dan fungsi yang berkembang terdiri dari : (a) ketrampilan merawat (bedside nursing), kondisi ini belum dapat menata kolaborasi dengan tenaga pelayanan kesehatan lainnya, (b) Peran vokasi based, berkembangnya kebutuhan perawat yang polivalen bekemampuan ganda yakni selain melayani, mengasuh, juga berperan dalam penyuluhan, bimbingan dan perlindungan. Konsep ini bertumpu kepada pemberdayaan aspek perilaku (c) Peran Hospital based dan Biomedical centred., mengupayakan proses pendidikan untuk mengembangkan pendidikan keperawatan secara intelektual dan biomedis yang diharapkan dapat mengintegrasikan ilmu keperawatan dengan teknologi diagnostik dan terapeutik.

Keperawatan Profesional di Indonesia dimulai sejak 1962 dibukanya Akademi Keperawatan di RSCM yang didukung oleh WHO Techinal Report Series No 347 tahun 1966 halaman 13 yang mengungkapkan perawat profesional merupakan kategori yang berkemampuan dapat mengembangkan dan memberi pelayanan keperawatan, keterampilan tinggi baik di rumah sakit maupun masyarakat, dan menetapkan keputusan sendiri berdasarkan prinsip ilmiah, klinis dan manajerial. Dengan demikian, diharapkan setiap kebijakan perawatan memiliki kerangka integrasi keilmuan diawali dengan proses berpikir ilmiah, etik profesi, tanggung jawab sosial terhadap asuhan pelayanan pasien di bidang rehabilitatif, penyuluhan kesehatan, penelitian kesehatan, pencegahan penyakit dan kecacatan, penemuan kasus dini.

Paradigmatik Teknologi Keperawatan

      Teknologi keperawatan merupakan dimensi dinamis dari keilmuan keperawatan yang bergerak detik demi detik  dalam proses dan aplikasi lapangan pelayanan pasien yang berkualitas. Teknologi ini sedemikian majunya didukung oleh penilaian akreditasi rumah sakit yang berkesinambungan. Teknologi keperawatan adalah suatu upaya dan kerja keras yang harus diperjuangkan dengan kesungguhan. Sains dan Teknologi secara komprehensif dan bioetika, baik di bidang kedokteran, keperawatan dan kesehatan masyarakat menjadi tumpuan utama dan tautan penting yang saling bersinergi untuk memperkuat aspek perkembangan keilmuan di bidang keperawatan. Perspektifnya adalah, bertitik tolak kepada sains multisistem dan teknologi sebagai rumpun sangat penting untuk kemajuan ilmu keperawatan. Paradigma yang perlu dibangun adalah inovasi keilmuan yang kompetitif, tidak berkutat pada ranah konservatif, namun berjalan dinamis pada ranah lateral bahkan out the box.

        Teknologi Keperawatan harus tetap bersanding dengan sains dan teknologi, jika tidak ingin tertinggal dalam catatan sejarah keperawatan. Teknologi tersebut dapat dimulai secara dini sejak pendidikan keperawatan yang berorientasi kepada nilai keunggulan, kultur pembelajaran yang berbasiskan supervisi dan andragogi, serta  penelitian yang berkemampuan mengelaborasi sumber daya keperawatan memiliki nilai prediktif perannya yang berubah di setiap tantangan zaman.

         Teknologi Keperawatan diharapkan bersinergi dengan filosofi sains dan teknologi sebagai bagian dari kehidupan manusia. Teknologi merupakan konsekuensi dari pengembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan (sains). Pengembangan sains adalah manifestasi keinginan manusia untuk maju, untuk menyempurnakan dirinya, dan untuk memecahkan rahasia alam. Keberhasilan manusia menguak berbagai rahasia alam membangkitkan semangat untuk semakin menyimak dan menjawab pertanyaan yang selalu timbul tentang mengapa suatu fenomena alam dapat terjadi dan bagaimana hal itu terjadi melalui teknologi-teknologi yang diciptakan. Salah satu yang perlu menjadi tali pengikat adalah pemahaman adanya bioetika, yang tidak hanya merupakan perangkat etika kedokteran, namun berkaitan dengan nilai-nilai moral yang berlaku lebih luas di masyarakat, dan tidak dapat lepas dari nilai-nilai budaya dan agama yang berada dalam masyarakat tersebut.

      Salah satu keilmuan teknologi keperawatan yang dapat dikembangkan adalah kemampuan berjenjang dengan kompetensi yang mungkin sudah dikembangkan saat ini sejak tingkat puskesmas sampai dengan rumah sakit rujukan tertinggi. Teknologi keperawatan di tingkat rumah sakit rujukan adalah  adalah kompetensi yang berkemampuan dalam kolaborasi dan elaborasi layanan pasien-pasien dengan resiko tinggi. Konsep yang dikembangkan adalah update  keilmuan dalam prosedur untuk memandu perawatan pasien di unit gawat darurat, pelayanan resusitasi, memandu penanganan, penggunaan dan pemberian darah dan produk darah (reaksi transfusi darah),  penggunaan alat bantu kehidupan (life support),  memahami pengelolaan pasien yang menderita penyakit menular dan penurunan kekebalan tubuh (immune supressed), layanan dialisis, manajemen keperawatan dalam kondisi khusus seperti usia lanjut, disabilitas dan anak anak yang memilik faktor resiko serta pasien yang menjalani kemoterapi.

       Mengkaji uraian diatas, paradigma teknologi keperawatan yang dibangun adalah suatu kotak besar keilmuan (kedokteran, keperawatan dan kesehatan masyarakat) menjadi nilai kerangka kerja yang berkesinambungan learning by doing sehingga menjadi kebijakan dan acuan yang memiliki kesamaan bahasa sejak penanganan di UGD – masuk perawatan – keluar rumah sakit (meninggal atau sehat.

Paradigmatik Asuhan Kompetensi Keperawatan

          Kompetensi keperawatan adalah suatu proses keseminatan yang akan terus mengalir mengisi celah-celah batu, bahkan mengikisnya sehingga energi kinetik dan energi potensial gerak air menuju target sasaran menjadi lebih cepat. Pola asuhan yang perlu dikembangkan dalam kompetensi keperawatan adalah : (1) Aspek diagnosis keperawatan berbasiskan perumusan masalah reflektif dan stratifikasi. (2) Aspek asuhan keperawatan medis dan (3) Aspek kemitraan profesi. Aspek diagnosis keperawatan adalah perumusan masalah reflektif dan stratifikasi sebagai proses berpikir dalam memahami seluruh proses penyakit pada pasien (reflektif) apakah data klinik (subjektif dan objektif) sudah tercakup dalam perumusan asuhan keperawatan. Proses berpikir reflektif adalah menjembatani suatu hipotesis yang dibuktikan dengan verifikatif diantara data klinik di rekam medik dari diagnosis dokter yang merawat dengan asuhan keperawatan yang dijalankan setiap hari. Dengan demikian, proses berpikir reflektif merupakan kemampuan analisis keperawatan terhadap data klinik apakah terdapat titik lemah yang perlu diperbaiki. Misalnya dalam merawat pasien Diabetes Melitus tidak terkontrol dengan penyakit jantung, aspek diagnosis keperawatan selalu melihat perkembangan pasien setiap hari terkait dengan perubahan klinis, apakah sesuai dengan data valid hasil pemeriksaan. Pola ini menempatkan perawat sebagai gate keeper pasien dan dokter dalam aspek diagnosis asuhan keperawatan.

          Aspek asuhan keperawatan medis adalah pola yang menuntun proses berpikir dan bekerja setiap perawat, mencakup pandangan holistik memandang pasien sebagai suatu kesatuan biopsikososial – spiritual. Konsep asuhan keperawatan medis memiliki dua landasan berpikir yaitu landasan profesional dan landasan etika kepedulian. Landasan profesional adalah kompetensi keilmuan yang berkemampuan dalam; 1) Memecahkan masalah; 2) Menyembuhkan penyakit; 3) Mengasuh (mendampingi, memimpin) pasien jika mendapatkan problematika dalam perawatan; 4) Menyenangkan atau membuat pasien dan keluarganya puas. Apabila keempat aspek tersebut dijelaskan lebih lanjut, akan terlihat bahwa aspek pertama dan kedua berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan dan aspek ketiga dan keempat bersangkutan dengan aspek perilaku, komunikasi, serta kemampuan menimbang-nimbang (judgment). Berbasiskan kepada etika keperawatan sikap empati ditujukan dengan; a) Kondisi psikis pasien; b) Penyakit yang diderita; c) adat istiadat, budaya dan aspek keagamaan; d) Kemampuan bekerjasama dalam satu sistem dengan sesama profesi lain; e) Kesadaran bahwa pengetahuan dan ketrampilan memiliki keterbatasan sehingga memerlukan suatu kemampuan saling mengisi dan berkomunikasi; f) Memiliki konsep baku dan mapan yang menjadi pedoman dalam bekerja.

        Aspek kemitraan profesi adalah proses dan mekanisme jalinan kerjasama dengan bidang lain untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pasien. Kemitraan mencakup dua aspek penting yaitu interaksi komunikasi dan networking. Interaksi komunikasi menjadi  sarana penting menajamkan perumusan masalah dan penentuan asuhan keperawatan. Interaksi komunikasi menentukan sejauh mana profesionalisme diterapkan berdasarkan ilmu pengetahun dan ketrampilan yang didapat, proses berpikir yang benar (penerapan), sikap dasar (attitude) sehingga diharapkan dengan hasil akhir profesionalisme didapatkan mutu yang tinggi dan memuaskan (quality dan satisfaction). Networking kemitraan asuhan keperawatan adalah salah spirit perawat untuk bekerjasama dalam suatu sistem. Kerjasama tersebut bersifat profesi atau dengan bidang lain yang terkait. Tipologi kerjasama terdiri dari; 1) Kerjasama satu korps keperawatan dan 2) Kerjasama dengan profesi lain, lintas profesi dan multi profesi.

Paradigmatik  Patient Centered

        Mungkin banyak kalangan yang bergerak di bidang pelayanan belum menyadari bahwa rumah sakit itu bisa berjalan sampai saat ini disebabkan adanya peran dari pasien. Pasien memang merupakan manusia yang unik, tubuhnya tidak dapat berfungsi dengan baik dan jiwanya-pun mengalami hal yang sama. Dalam aktivitas sehari-hari ia amat tergantung pada orang lain di sekitarnya. Kalau ia memilih  seorang dokter, ia pun akan sangat tergantung padanya sampai ia sembuh. Ia merupakan manusia yang merasa berkurang haknya dan kadang-kadang demi efisensi pengobatannya,  ia mengalami depersonalisasi agar penyakit yang sebenarnya lebih tampak. Sepintas, beginilah citra pasien.

                Pasien itu membawa peran sakit baik dalam kondisi menderita suatu penyakit (disease) atau dalam keadaan sakit (illness). Kesadaran yang membawanya untuk berobat merupakan perwujudan dari personalisasi dan nilai humanisasi. Keterkaitan diantara peran pasien dan sakit sudah menjadi perhatian sejak Talcot Parson (1950) sebagai sebagai aksioma perilaku yang berkembang sebagai transformasi sosial medis. Mechanic seorang sosiolog mengemukakan bahwa orang sakit akan memberikan tiga reaksi. Pertama, ia akan berperilaku sakit sesuai dengan yang diajarkan oleh lingkungan sosio budaya dan mencari jalan keluar dari keadaan sakit itu berdasarkan ajaran yang diperoleh. Kedua, ia akan mengatasi kesukaran hidup yang dialaminya dengan berobat sesuai dengan gejala yang dirasakannya. Ilmu kedokteran menamakan hal ini pengobatan terhadap masalah psikosomatik. Ketiga, perilaku sakit merupakan usaha mencari keuntungan, misalnya mencari perhatian dan belas kasihan orang lain, atau kegagalan sosial yang diperbuatnya.

       Kohesi diantara sakit dan peran pasien membawa kepada pendekatan ranah komunitas dan ranah hospital. Ranah komunitas mengungkapkan suatu wahana kemasyarakatan bahwa kondisi sakit merupakan suatu keniscayaan yang perlu disikapi positif secara kultural. Hal ini menggerakkan suatu spirit untuk mencari solusi dari problematika kesehatan yang dialaminya. Ranah hospital menguak suatu wahana harapan adanya wadah solusi yang sintesis untuk mengurai problematika pasien yang berobat, menjembatani nilai-nilai sakit sebagai kondisi das sein dengan nilai nilai internalisasi pengobatan sebagai das sollen.

                Menjembatani nilai das sein dan das sollen berpijak kepada pemenuhan hak pasien untuk berobat yaitu adanya komunikasi diantara pasien dengan dokter dan perawat. Jika ada pasien yang berobat menurut Davis (1972) terdapat empat hal yang mungkin terjadi, misalnya pada pasien dengan poliomyelitis paralitica; 1) Komunikasi  : Dokter dapat menyusun suatu prognosis tentang penyakti yang diderita, dan menyampaikannya kepada orang tua pasien anak tersebut; 2) Disimulasi : Bila dokter tidak membuat suatu prognosis untuk memberitahu pasien secara samar-samar (disimulasi berarti membohongi); 3) Pengakuan ketaktentuan : bila dokter tidak dapat menyusun suatu prognosis dan mengakuinya  kepada orang tua pasien; 4)  Evasi : bila dokter dapat menetapkan suatu prognosis, namun memilih tidak memberitahukannya kepada orang tua pasien (evasi) berarti menghindar.

        Menghadapi kasualitas diatas menunjukkan peran perawat untuk mengawal patient centered sangat penting. Fungsionalisasi perawat tidak hanya untuk membantu pasien dalam mengelola menajemen pengelolaan pasien ataupun menemani visite dokter, namun mengembangkan spirit dan jati dirinya untuk memiliki peran utama sesuai kompetensinya terkait dengan kesembuhan pasien secara paripurna. Konsep yang perlu terus dikembangkan adalah kapasitas dan kemampuan komunikasi keperawatan selain menjembatani asuhan keperawan dan asuhan medis, namun juga mengisi celah yang belum diisi oleh dokter misalnya memberikan kontemplasi ketenangan dan perubahan perilaku pasien dalam menghadapi penyakitnya. Pola dasar lain yang perlu diupayakan adalah spirit untuk membina hubungan kesetaraan dengan dokter dalam membimbing pasien memahami dan menjalani perawatannya dengan baik. Pola yang dibangun adalah hubungan saling berperan serta yang secara filosofis berasaskan  menjadi  hak dan martabat  pasien, dan secara psikologis membuka sekat-sekat terhadap identifikasi dan kompleksitas yang terjadi menjadi suatu asas transparansi, sehingga detik demi detik perkembangan pasien berjalan dalam galur yang berorientasi kepada mutu dan keselamatan pasien.

Paradigmatik Akreditasi Keperawatan dalam Sistem Ketahanan Nasional

          Apakah ada keterkaitan diantara akreditasi keperawatan dengan sistem ketahanan nasional ? Mungkin sampai saat ini belum banyak yang membahas topik ini. Jika kita membahas  hubungan diantara akreditasi keperawatan dan sistem kesehatan nasional, merupakan hal yang lazim, mengingat keduanya merupakan gerbong kereta yang berjalan dalam rel kebijakan kesehatan.

           Pemberdayaan dan fungsi keperawatan dalam sistem ketahanan nasional mencakup dua aspek yaitu aspek idealitas pemberdayaan pelayanan kesehatan di tingkat rumah sakit dan aspek idealitas pemberdayaan kesehatan di tingkat komunitas. Aspek idealitas pemberdayaan tingkat rumah sakit menempatkan fungsi perawat terlibat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem dan kebijakan rumah sakit. Peran dan berdayanya perawat disini adalah kapasitas dan kemampuannya untuk senantiasa mengembangkan kompetensinya secara berkesinambungan, baik secara struktural melalui formasi rumah sakit maupun secara partisipatif melalui organisasi keperawatan (PPNI). Upaya peningkatan kompetensi ini adalah keterlibatan dalam interaksi pendidikan baik sebagai pengajar maupun mendapatkan pengajaran, sebagai suatu siklus pembelajaran yang diharapkan menumbuhkan spirit inovasi dan kualitas yang lebih baik. Pendayagunaan teknologi merupakan salah satu aspek yang perlu menjadi tumpuan, terutama jika kita memandang pasien sebagai aset kehidupan yang perlu dijaga, dan secara filosofi merupakan aset bangsa. Analogi yang perlu menjadi perspektif kita adalah bagaimana rumah sakit TNI memberikan yang terbaik terhadap pasien prajurit yang dirawatnya, mengingat investasi TNI dalam pembentukan, pengembangan dan pendidikan keprofesionalannya sebagai prajurit TNI sedemikian besar. Tanggung jawab yang diemban tidak sekedar instruksional, namun menjadi suatu tanggung jawab partisipatif yang menjadi suatu nilai moral.

            Fungsi keperawatan dalam konteks komunitas adalah keterlibatan dalam pemberdayaan kesehatan dan ketahanan masyarakat. Keilmuan keperawatan idealitas yang dimiliki menjadi nilai sinergitas dan jembatan organisasi yang menjejak kondisi realitas. Peran dan berdayanya dirasakan oleh akar rumput di di masyarakat berkelanjutan fungsi keperawatan dalam pembangunan kesehatan di masyarakat. Konsep yang dapat dikembangkan adalah Nurse Community Sustanaibility Development (NCSD). NCSD menjadi mata akal dan mata hati pemberdayaan perawat di tingkat masyarakat, mungkin suatu saat menjadi salah satu tulang punggung  pemberdayaan di masyarakat.

Pendidikan kesehatan di masyarakat merupakan salah satu elemen penting yang dapat dikembangkan dalam NCSD, karena berorientasi kepada Community Health Base. Konsep, kajian dan program adalah proses alamiah yang berjalan regular yang berkembang secara struktural melalui anggaran pemerintah, namun juga dapat program partisipatif yang diharapkan memiliki nilai dan dampak mengejutkan bergandengan tangan dengan bidang lain dimasyarakat misalnya program asuhan nutrisi gizi di masyarakat. Peran perawat yang bersinergi dengan bidang lain akan memperkuat generasi bangsa yang lebih kuat.

Kesimpulan

           Tipologi Asuhan Keperawatan Rumah Sakit Rujukan merupakan kebijakan strategis inovatif, objektif dan lateral untuk melihat peran dan fungsi keperawatan berbasiskan kepada kompetensi dan profesionalitas keperawatan dalam memberdayakan fungsi hospital yang berorietasi mutu dan keselamatan pasien dengan memanfaat teknologi dan fungsi komunitas yang berorientasi pemberdayaan masyarakat melalui  Nurse Community Sustanaibility Development.

Dr.dr. Soroy Lardo, SpPD FINASIM. Kepala Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto. Doktor Lulusan Universitas Gadjah Mada.

Rujukan

  • JCI Standar Akreditasi Rumah Sakit, 2011
  • Standar Akreditasi Rumah Sakit : Komite Akreditasi Nasional, 2017
  • Lumenta B. Perawat Citra, Peran dan Fungsi. Kanisius.1989
  • Mohamad K. Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Bioetika. PT Gramedia  Jakarta,1992.
  • Prawiranegara DD. Pengantar Dalam Lumenta  : Pasien Citra, Peran dan Perilaku. Kanisius 1989
  • Lumenta. Pasien Citra, Peran dan Perilaku. Kanisius 1989
  • Daldiyono Hardjodisastro. Menuju Seni Ilmu Kedokteran bagaimana dokter berpikir, bekerja dan menampilkan diri. PT Gramedia, 2006.
Bagikan