oleh:
Dr.dr.Soroy Lardo,SpPD-KPTI, FINASIM
Divisi/Sub SMF Tropik Infeksi
Departemen Penyakit Dalam
RSPAD Gatot Soebroto
Pendahuluan
Covid-19 yang terjadi di Indonesia memberikan pembelajaran penting bagi para dokter di garis depan untuk menatalaksana dengan baik. Pengelolaan infeksi virus ini merupakan ranah baru baik bagi klinisi yang bergerak di bidang pelayanan, maupun periset yang bergerak di bidang penelitian.
Indonesia sebagai negara tropis sudah bersahabat dengan keanekaragaman penyakit infeksi sejak kemerdekaan bahkan sebelumnya. Kita sudah terbiasa dengan kejadian luar biasa dengue dan malaria. Menghadapi hal tersebut, kapasitas dan kebijakan pemerintah selalu siap untuk mengelola, didukung dengan proses learning by doing diantara kebijakan dan implementasi di lapangan.
Covid-19-infeksi virus yang sebelumnya mungkin tidak familiar, namun demikian mau tidak mau kita harus menghadapinya. Infeksi virus ini memiliki kemampuan sangat dinamis dalam hal virulensi, penetrasi kepada host dan mutasi.
Perkembangan Covid-19 pada awalnya adalah terjadi kondisi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) sebagai kompleksitas kasus yang dihadapi klinisi terutama di perawatan intensif, namun proses perjalanan penyakit berikutnya berlanjut kepada kompleksitas berbagai organ seperti hati, ginjal dan otak. Fase ke depan, Covid-19 akan berkembang menjadi infeksi sistemik yang memerlukan pendekatan multidisiplin.
Salah satu problematika di lapangan adalah aspek terapeutik dari Covid-19, yang sampai saat ini belum ada pengobatannya. Pengobatan Covid-19 adalah antiviral, vaksin dan modalitas lainnya.
Tulisan ini akan menelaah dari beberapa literatur, kajian terapeutik yang paling memungkinkan digunakan klinisi di rumah sakit, khususnya rumah sakit rujukan.
Patofisiologi Strain Virus Covid-19
Patofisiologi strain virus Covid-19 berpijak kepada transmisi saat masuk ke dalam host melalui reseptor ACE dan tonjolan protein (spike) yang memiliki fungsi grabbing (mengkait) dan clevelage (membelah) dalam jumlah yang banyak. Selain melalui reseptor ACE, virus ini akan masuk melalui pintu lain yaitu TMPRSS2, DPP4 dan grp. Tahap lanjut, Covid-19 menghancurkan regulator p(protein) 53, p(protein) 53 berfungsi mengatur kegiatan yang berhubungan proliferasi sel dan sel imun. Konsekuensi apa yang terjadi? Sel imun berkembang dilluar kontrol dengan aktivitas yang tersebar menghasilkan sitokin dalam jumlah sangat banyak (badai sitokin), Badai sitokin ditandai dengan protein imun meningkat tidak terkendali dan menyerang organ-organ sehat di tubuh ketika merespon virus dengan terjadinya inflamasi di berbagai organ dan bisa mengakibatkan kegagalan organ sampai kematian (Cronn, 2020).1,2
Virus corona yang muncul di Wuhan merupakan analisis genetik pertama evolusi virus. Peneliti Universitas Cambridge melacak asal usul pandemik dengan menganalisis 160 genom pasien dan mengidentifikasi tiga jenis (strain) berbeda patogen yang mematikan.3,4
Ketiga jenis patogen tersebut adalah strain A, B dan C. Ketiga jenis ini telah mengikuti jalur yang berbeda di seluruh dunia, mungkin bermutasi lebih efektif dalam menginfeksi populasi tertentu. Dr. Peter Forster ahli genetika sebagai ketua tim peneliti mengungkapkan jenis virus paling awal yang disebut ilmuwan ‘Tipe‘umumnya terdeteksi di AS dan Australia, dan tidak terdapat bukti berasal dari Wuhan. Tipe A adalah keturunan leluhur dan paling dekat hubungannya dengan virus corona yang ditemukan pada kelelawar dan trenggiling. Tipe kedua ‘B’ adalah tipe yang paling umum di Asia Timur, berasal dari ‘A’ dan dipisahkan oleh dua mutasi, sedangkan tipe ‘C’ merupakan mutasi ‘B’. Tipe ‘C’ tidak ditemukan di daratan China sama sekali. Tipe ‘C’ umumnya ditemukan di Hongkong, Singapura, dan Korea Selatan sebagai petunjuk sumber penularan ke Eropa. Tipe ‘A’ adalah tipe asli yang mempengaruhi manusia, kemudian bermutasi dan berubah menjadi tipe ‘B’. Tipe ‘B’ ini kemudian merupakan genom pertama yang dijemput di Wuhan, setelah terkonfirmasi penyakitnya. Saat ini tipe C tidak ditemukan pada fase awal wabah di China, terutama di Singapura.3,4
Perjalanan klinis Covid-19
Covid-19 adalah virus yang dapat menyebabkan sindroma pernafasan akut (ARDS), memuncak episode akhir Januari dan awal Februari di China khususnya di Provinsi Hubei. Kasus yang terjadi, diawali diantara pelancong dari Tiongkok berlanjut dengan transmisi lokal dan wabah di beberapa lokasi diluar China, termasuk Korea Selatan, Italia, Iran, dan Jepang, dan infeksi di tempat lain telah diidentifikasi pada pelancong dari negara-negara tersebut.5-8
Transmisi SARS-CoV-2 diperkirakan terutama melalui droplet. Penularan dari individu tanpa gejala (atau individu dalam masa inkubasi) dan perjalanan klinis belum banyak diketahui. Skrining serologis skala besar mungkin dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang ruang lingkup infeksi asimptomatik dan menginformasikan analisis epidemiologis, melalui beberapa tes serologis untuk SARS-CoV-2. SARS-CoV-2 RNA telah terdeteksi dalam spesimen darah dan feses. Menurut laporan gabungan WHO-China, virus hidup telah dikultur dari tinja dalam beberapa kasus, tetapi penularan fekal-oral tampaknya tidak menjadi faktor yang signifikan dalam penyebaran infeksi.9-11
Sekuensi genom dan analisis filogenetik menunjukkan coronavirus yang menyebabkan Covid-19 adalah betacoronavirus dalam subgenus yang sama dengan virus sindroma pernafasan akut yang menimbulkan kondisi berat. Struktur wilayah gen pengikat reseptor sangat mirip dengan coronavirus SARS, dan virus telah terbukti menggunakan reseptor yang sama, enzim pengkonversi angiotensin 2 (ACE2) untuk entri sel.12,13
Masa inkubasi Covid-19 diperkirakan 14 hari setelah paparan, dengan sebagian besar kasus terjadi sekitar lima hari setelah paparan. Dalam sekelompok keluarga infeksi, timbulnya demam dan gejala pernafasan terjadi tiga sampai dengan enam hari setelah paparan dugaan. Demikian pula analisis pasien pneumonia Covid-19 yang dikonfirmasi dengan estimasi masa inkubasi rata-rata lima hari.13
Presentasi klinik pneumonia menjadi manifestasi infeksi paling serius, ditandai oleh demam, batuk, dispnea dan infiltrat bilateral pada pencitraan dada. Sebagian besar infeksi tidak parah, meskipun banyak pasien memiliki penyakit kritis. Sebagian besar infeksi tidak parah, meskipun banyak pasien memiliki penyakit kritis. Secara khusus, laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok yang mencakup sekitar 44.500 infeksi menghadapi keparahan penyakit, didapatkan 81 persen ringan (tidak ada atau pneumonia ringan), 14 persen dengan kondisi parah (dispnea, hipoksia, atau >50 persen berpartisipasi dalam pencitraan dalam 24 hingga 48 jam), dan 5 persen sangat parah (misalnya, dengan gagal nafas, syok atau disfungsi multiorgan). Derajat fatalitas total 2,3 persen, tidak ada kematian yang disetujui diantara kasus-kasus non kritis. Menurut sebuah misi pencarian fakta bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat fatalitas kasus antara 5,8 persen di Wuhan hingga 0,7 persen diseluruh Tiongkok. Sebagian besar kasus fatal telah terjadi pada pasien dengan usia lanjut atau komorbiditas medis yang mendasarinya. Selain masalah pernafasan, gejala gastrointestinal (mual, diare) relatif jarang terjadi.14-19
Perjalanan dan manifestasi klinis Covid-19 terdiri dari stadium I (viral response phase), stadium II (pulmonary phase) dan stadium III (hyperinflammation phase). Stadium I merupakan fase awal inokulasi dan pembentukan penyakit. Periode inkubasi ini terkait dengan gejala ringan dan sering tidak spesifik seperti malaise, demam dan batuk kering. Selama fase ini, SARS CoV-2 melipatgandakan dan menggunakan sistem pernafasan sebagai target, melalui reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2). Reseptor-reseptor ini banyak terdapat di paru-paru, epitel usus kecil termasuk endothelium pembuluh darah.20
Penularan melalui udara ditandai oleh afinitas dengan ACE2 paru dengan gejala pernafasan ringan dan sistemik. Kondisi ini perlu didukung oleh pemeriksaan laboratorium yaitu swab sampel PCR, pengujian serum SARS-CoV2 IgG dan Ig M, hitung darah lengkap dan pencitraan dada. Hitung darah lengkap dapat mengungkap limfopenia dan netrofilia tanpa kelainan signifikan lainnya.20
Stadium II (pulmonary phase) ditandai dengan multiplikasi virus dengan inflamasi pada paru. Pada fase ini gejala klinis yang muncul adalah batuk, demam dan hipoksia dengan PaO2/FiO2< 300 mmHg). Pencitraan dengan dengan rontgen dada ataupun CT Scan mengesankan adanya infiltrat bilateral atau gambaran kekeruhan ground-glass opacities (GGO). Fase ini dapat terjadi gangguan organ diantaranya transaminitis.20
Stadium III (hyperinflammation phase) merupakan fase berat yang bermanifestasi sindrom hiperinflamasi sistemik ekstra paru. Fase ini ditandai dengan peningkatan sitokin dan biormarker inflamasi seperti IL-2, IL-6, IL-7, faktor stimulasi granulosit, protein inflamasi makrofag 1- α, TNF α, CRP, ferritin. Kondisi berat ini dapat disertai dengan peningkatan D dimer, troponin, N-terminal pro B-type natriuretic peptide (NT-Pro BNP) dan limfohistiositosis hemofagositik (sHLH). Syok, vasoplegia, gagal napas, dan bahkan kolaps kardiopulmoner dapat dilihat. Sistemik keterlibatan organ, bahkan miokarditis, akan bermanifestasi selama tahap ini. Hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Dikutip dari 20
Kajian Terapeutik
Kajian terapeutik Covid-19 sampai saat ini belum menemukan terapi yang efektif. Perkembangan Covid-19 baik dari segi virulensi maupun perkembangan mutasi virus menjadi tantangan besar terhadap upaya sejumlah target obat potensial. Penelitian yang dikembangkan saat ini memprioritaskan obat yang dapat menghambat enzim pengubah angiotensin atau reseptor angiotensin blocker pada pasien dengan Covid-19. Penemuan ilmiah dan data klinis yang dihasilkan sejumlah populasi terinfeksi SARS-Cov-2 menjadi bahan akurat untuk penelitian.21
Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) terdapat beberapa terapi farmakologis yang saat ini digunakan dipertimbangkan untuk pengobatan Covid-19, berdasarkan evaluasi kritis literatur yang terpublikasi berkelanjutan. Pedoman cepat berbasis bukti untuk mendukung pasien, dokter, dan profesional kesehatan lainnya dalam manajemen pasien dan keperawatan merupakan keniscayaan.22
Merunut langkah tersebut, IDSA membentuk panel pedoman multidisiplin yang terdiri dari ahli penyakit infeksi, apoteker, dan ahli metodologi. Panel bekerja dengan melakukan tinjauan sistematis, penilaian dan pengembangan dan evaluasi dengan menggunakan GRADE (Grading, Recommedation, Assessment, Development, Evaluation) sebagai uji bukti rekomendasi. Panel merekomendasikan uji coba pasien yang direkrut ditujukan untuk memberikan bukti yang sangat dibutuhkan untuk kemanjuran dan keamanan terapi COVID-19.22
Virologi dan target terapi
Saat ini belum ada penelitian uji klinis acak (RCT) terapi potensial terhadap Covid-19 memberikan keluaran pasien yang dirawat inap. SARS-CoV-2 merupakan virus single-stranded RNA – enveloped, melalui protein struktural S (spike protein) yang berikatan dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 9ACE2.21
Setelah pengikatan reseptor, partikel virus menggunakan reseptor sel inang dan endosome untuk memasuki sel. Serine transmembrane tipe 2 protease, TMPRSS2 memfasilitasi pemasukkan sel melalui protein S. Setelah di dalam sel, polyprotein virus disintesis untuk mengkode kompleks replicate transcriptase. Virus kemudian disintesis RNA melalui RNA polymerase yang bergantung pada RNA. Protein struktural disintesis untuk perakitan dan pelepasan partikel virus.21
Siklus hidup virus yang berproses memberikan target potensial untuk obat. Target obat yang menjanjikan diantaranya protein nonstruktural (protease 3-chymotrypsin, seperti papain protease, RNA-dependent RNA polymerase) yang berbagi homologi dengan coronavirus baru lainnya (nCovs) dengan regulasi dan target obat terhadap sistem kekebalan tubuh.
Hal ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
Uji klinis SARS-Cov-2 yang sedang berlangsung melalui Clinical-Trials.gov pada tanggal 2 April 2020 terdiri dari 351 uji coba aktif, dengan 291 uji coba khusus. Dari 291 uji coba ini, sekitar 109 uji coba (termasuk yang belum merekrut, merekrut, aktif atau selesai) termasuk terapi farmakologis untuk pengobatan Covid-19 pada pasien dewasa, 82 diantaranya studi intervensi dengan 29 uji coba terkontrol plasebo. Deskripsi penelitian terdiri dari 11 fase 4, 36 fase 3, 36 fase 2 dan 4 uji coba fase 1.21
Kandidat obat pilihan merupakan agen yang sebelumnya digunakan untuk menangani SARS dan MERS yang memiliki target potensial mengobati Covid-19. Namun demikian, aktivitas in vitro saat menangani SARS dan MERS memperlihatkan kemanjuran yang tidak konsisten. Analisis meta studi perawatan SARS dan MERS mengungkapkan adanya penemuan ketidakjelasan manfaat pengobatan. Pengalaman klinis dan aktivitas in vitro terhadap obat yang menjanjikan akan dibahas dalam tulisan ini.21
Dr.dr.Soroy Lardo,SpPD-KPTI, FINASIM, Doktor Lulusan Universitas Gadjah Mada
silahkan download