oleh:

Soroy Lardo

             Kemarin ketemu sahabat diskusi, senior dan sudah mendapatkan posisi bintang. Diskusi tentang membangun nasionalisme melalui pemikiran, tentunya pemikiran yang memberikan pencerahan untuk menumbuhkan spirit dan inovasi memajukan bangsa. Beliau memberikan dua kata kunci ;1) “Suatu titik puncak kebahagiaan dalam hidup ini ialah dapat melaksanakan hal-hal yang disangsikan oleh orang lain dan akan dapat kita kerjakan sendiri”;2) Masa depan akan tiba hanya menakutkan bagi orang-orang yang selalu lebih suka hidup berpikiran dalam masa lalu dan nasib baiknya hanya menentukan sebagian kecil sekali dari kehidupan mereka, selebihnya sangat tergantung pada dirinya sendiri”.

            Kedua konsep pemikiran yang diurai diatas menggambarkan dua titik kulminasi proses kehidupan yaitu membentuk karakter berpikir lateral dan out the box ditengah arus pemikiran konvensional dan struktural melalui penguatan keilmuan secara mandiri. Titik kulminasi kedua adalah membekunya pola pikir dan afektif ego sentris terkait dengan pertarungan dan konflik ide dan gagasan yang mengalami hambatan, bertransformasi untuk konsisten dan berkelanjutan melihat masa depan sebagai suatu lorong kecil berpendar dan bercahaya menuju lorong baru yang memberikan nuansa perubahan.

            Konstruksi pemikiran yang berorientasi kepada dimensi masa depan memerlukan system thinker yang diperkuat oleh networking thinker. System thinker sebagai bangunan kuat yang merekonstruksi ide dan inovasi baru untuk perubahan dan networking thinker adalah gerak informasi yang konsisten dan berkelanjutan berdampak perubahan.

System Thinker dan Leadership

            System Thinker sepertinya perlu diurai secara jelas, dalam konteks apa dan penerapan yang bagaimana. System Thinker secara filosofi bahasa memuat suatu proses olah pikir berbasiskan nilai-nilai keluhuran ilmu dalam menjelajahi gelombang kehidupan, bertumpu kepada keseimbangan tiga dimensi ontologis – epistemiologis dan aksiologis. Tiga dimensi keilmuan yang dikemukakan tersebut, menunjukkan bahwa pembentukan karakter leadership adalah proses penempaan yang panjang. Tidak sekedar “ujug-ujug dan instant”, namun melalui interaksi berkesinambungan diantara proses memimpin suatu organisasi secara berjenjang dan bertahap yang diselingi oleh tahap pembentukan kemampuan berpikir dan kalbu kepemimpinan sebagai Brain and Heart Leadership Stimulation (BHLS).

            BHLS mengurai kapasitas kepemimpinan sebelumnya yang mungkin dominan dengan eksekusi logika atau dominan toleransi afektif menjadi seimbang, sebagai karakter kepemimpinan berorientasi kepada sistem. BHLS merupakan rumah material madu di pohon yang menyediakan cadangan (storage) bahan material untuk recharging setiap lebah yang beristirahat di pohon tersebut. BHLS merupakan kapasitas yang mewadahi nilai-nilai kepemimpinan untuk membentuk kalbu untuk bertransformasi terhadap perubahan.

            Karakter kalbu yang dibentuk oleh System Thinker adalah jiwa-jiwa kepemimpinan yang berpikir secara sistem. Melihat fenomena sosial berbasiskan pendekatan komprehensif, tidak semata berdasarkan kondisi lokal, atau jika dalam istilah penyakit sebagai infeksi / peradangan lokal satu bagian tubuh. System Thinker mengembangkan kapasitas kerendahan dan kebersihan hati untuk mengurai kalbu dan karakter kepemimpinan berjiwa eliminasi, yaitu bergeraknya nilai dinamis  intelijen kepemimpinan(intelijen medis) bahwa infeksi lokal berpotensi untuk menjadi infeksi sistemik yang pada ujungya terjadi suatu gagal organ (multi organ dysfunction syndrome/MODS). Terjadinya MODS tentunya tidak diharapkan, karena sudah tahap hilir suatu perjalanan penyakit. System Thinker memberikan kata kunci yang disebut dengan early warning sign sebagai nilai prediksi awal yang harus dihambat bahkan dihentikan suatu infeksi lokal tidak berpotensi berat. Early warning sign  tidak dapat dilatih sesaat, memerlukan suatu proses learning by doing yang panjang. Tidak sekedar menguatkan logical thinking, tetapi perlu menyeimbangkan affective dan psychomotroric thinking. Proses ini menjadi galur yang baku.

       Salah satu contoh System Thinking dalam kehidupan sehari hari adalah mengurai permasalahan dalam satu integrasi solusi yang memiliki makna sintesis. Keputusan yang diambil berdasarkan kaidah model kebijakan publik pengembangan system thinking berbasiskan model institusional (classical science), model matematikal (hard science) dan model behavioural (soft science). Model institusional mencakup pembuatan keputusan kebijakan sesuai dengan mandat dan atau SOP organisasi dengan output manajemen sistem proses. Model Matematika mencakup pembuatan keputusan kebijakan sesuai dengan hasil analisis matematika dari data kualitatif/kuantitatif dengan output ekonometrika, structural equation modelling dan modelling matematik lain.Model behavioural (Soft science) mencakup pembuatan keputusan kebijakan sesuai dengan perilaku (psikologis) individu dengan output rasional – bonded rasional prospect, fast slow thinking  psikoanalisa.1

       Model institusional (classical science) adalah tipologi analisis kebijakan yang runut dengan sistem organisasi mencakup kaidah, filosofi, alur kepemimpinan. Model ini bertumpu kepada penguatan sistem organisasi sebagai pijakan utama. Organisasi yang kuat adalah yang berkemampuan memenuhi perangkat kerja dan target organisasi secara bertahap dan berkelanjutan, mewujud melalui pengejewantahan misi organisasi dengan program-program yang dapat diimplementasikan di masyarakat. Salah satu contoh adalah kebijakan pemberdayaan posyandu di masyarakat. Model institusional yang dikembangkan adalah kebijakan yang menarik minat komponen masyarakat mendayagunakan  potensi masyarakat terlibat dan memiliki spirit untuk memberdayakan posyandu tidak sekedar aspek kuratif, preventif dan promotif, tetapi mengembangkan konsep enterpreunership pemberdayaan posyandu menjadi turning point pergerakan kesehatan masyarakat. Gerak dinamis posyandu tidak berkutat di bidang teknis kesehatan, namun memiliki indikator dan parameter sosial keberhasilan posyandu di suatu desa terukur dalam episodik waktu tertentu.

            Model Matematika adalah suatu pergerakan system thinker yang beramplifikasi menuju networking thinker. Model ini mengembangkan kajian keilmuan berbasiskan epistemiologis yang diterapkan dalam bentuk aksiologis keilmuan. Persyaratan networking thinker yang baik adalah menguatkan jejaring keilmuan (leadership) dalam bentuk pengumpulan dan pengolahan data untuk mjendapatkan validitas data (kualitatif dan kuantitatif) yang dapat menjadi pijakan untuk pengembangan organisasi. Networking thinker merupakan langkah keilmuan evidence base untuk membentuk parameter-parameter kualitas dan hasil kinerja organisasi didukung oleh berbagai jejaring, dengan harapan ruh dan spirit kinerja organisasi tetapi terisi untuk mendapatkan capaian organisasi secara maksimal.

            Model behavioural (lingkungan) menekankan aspek karakter dan perilaku sebagai aspek penting yang perlu melekat setiap individu di setiap organisasi, menjadi motor lingkungan yang mendukung kondusifitas interaksi setiap potensi individu dan manajemen untuk merumuskan dan mengembangkanya dengan titik temu perubahan paradigma. Lingkungan kerja yang menempatkan harmonisasi Brain and Heart Leadership Stimulation (BHLS) yaitu berpikir logik dan mengasah kalbu dengan spirit lingkungan organisasi menuju kepada nilai-nilai kinerja baru. Model behavioural pada tahap lebih lanjut menjadi paradigma kekuatan sosial yang merajut berbagai potensi dan elemen kemasyarakatan dalam satu rajutan yang kuat, bola keranjang rajutan yang terbentuk kuat pada fase berikutnya akan mengeluarkan tali-tali potensi baru yang merambat dari satu cabang pohon menuju cabang pohon berikutnya, dengan harapan terbangunnya pohon baru dengan kerindangan daun yang lebat dan akarnya memberikan nutrisi tanaman kecil di sekitarnya.2

Networking Thinker dan Leadership

        Bagaimana dengan Networking Thinker? Pola leadership ini merupakan suatu kolegialitas sistem kerja yang berorientasi kinerja dan transformasi untuk suatu perubahan. Networking thinker basis keilmuannya adalah aksiologis berdampak sosial. Konsep dasar yang dikembangkan adalah nilai-nilai, model dan algoritma yang dapat diterapkan sebagai dimensi transformasi sosial. Networking thinker mengupayakan ide pembaharuannya, berpijak kepada spirit berinovasi dengan mendayagunakan teknologi alternatif. Kebijakan dan pemetaan jejaring yang dibentuk berbasiskan kepada nilai perspektif dan prospektif, yaitu berkemampuan menentukan skala prioritas untuk menguatkan dan mendistribusikan koneksitas yang mencakup otoritas, leadership, sistem informasi dan manajemen, kompetensi SDM dan aplikasi akar digital yang mengakar dan merambat luas ke jaringan masyarakat.

          Networking thinker dalam ‘akrobatik’ di masyarakat tentunya akan mendapatkan pro dan kontra dari ide yang diluncurkan menghadapi dua kelompok, yaitu supporter dan confounder. Supporter adalah sistem atau perangkat keras (teknologi informasi) dan perangkat lunak (jaringan komunikasi), sebagai pisau yang selalu diasah untuk menajamkan konsep kerja networking thinker memiliki keandalan mendukung fleksibilitas kompetensi dan menautkan alur kebijakannya,  sebagai rantai komando yang berdampak sosial dan kultural. Confounder adalah sistem dan kebijakan yang mempengaruhi gerak dan kebijakan implementasi networking thinker, baik sebagai determinan internal dan eksternal. Determinan internal adalah kondisi yang mempengaruhi nilai dasar dari networking thinker melalui intervensi ideologis yang mengacu kepada liberalisasi kebijakan. Confounder merupakan efek dan faktor kovariat sebagai pemicu dan efek nilai kejuangan networking thinker yang tidak tepat pada jalur yang sudah disepakati terhadap keluaran yang didapat menyimpang dari nilai idealitas yang dicitakan. Menghadapi kondisi demikian, faktor eksternal dan internal dikendalikan dengan cara mengeluarkan variabel interelasi networking thinker untuk mendapatkan nilai kemaknaan dalam membangun jejaing digitalisasi.

System Thinker dan Kebijakan Publik

      Kebijakan publik merupakan kerangka keputusan rasional yang berorientasi kepada kemasyarakatan. Konteks keputusan yang dibuat memuat relasi diantara institusi dan masyarakat. Kebijakan tersebut tidak terlepas dari pendekatan historis terhadap peran dan implementasi yang diterapkan, memiliki kontribusi secara psikologis dan sosiologis terkait dengan reformasi sektor publik. Kebijakan publik system thinker mencakup analisis sistem, sibernetika dan intelegensia artifisial. Berbasiskan konsep yang diuraikan diatas, pengembangan lebih lanjut adalah transformasi ide menjadi suatu model dalam lintas disiplin ilmu sehingga memiliki kompetensi untuk suatu kebijakan.

       Sistem manajemen strategis akan optimal jika didukung oleh analisis psikologis terhadap realitas di masyarakat. Analisis psikoilogis menjadi titik acuan sejauh mana ide dan gagasan dapat diwujudkan sebagai suatu nilai rasionalitas kepentingan masyarakat, sehingga cara pandang parsial terhadap kebijakan publik yang diputuskan, dapat dilengkapi dengan elemen-elemen yang komprehensif.

      Teori analisis psikologis terhadap keputusan publik memiliki beberapa pendekatan. Pendekatan pertama bertitik tolak terhadap faktor-faktor nilai personalitas, motivasi, perilaku kelompok dan hubungan interpersonal. Pendekatan ini dimotori oleh Laswell dalam menganalisis dampak personalitas dalam pengambilan keputusan. Pendekatan kedua diinisiasi melalui pendekatan berorientasi masalah dengan menampung informasi dari berbagai lini. Pendekatan ini bertumpu kepada rasionalitas informasi untuk pengambilan keputusan dari berbagai opsi sehingga dapat memetakan diantara realitas dan problematika, kemudian dibuat parameter sintesis dan solusinya. Pendekatan ini kemudian dikembangkan oleh Herbert Simon melalui investigasi dan penerapan artificial intelligent yang diharapkan memberikan pengaruh kepada sistem umpan balik. Sedangkan Goffrey Vickers mengembangkannya melalui pendekatan kognisi sehingga suatu ide dan pengalaman praktis dalam menerapkan kebijakan publik terhadap informasi dan komunikasi yang mengalir dua arah diantara pemerintah dan masyarakat, sebagai sarana untuk menerapkan pola pengaturan sendiri (selfregulating). Mengacu kepada kebijakan kesehatan, salah satunya kebijakan otonomi daerah dengan karakteristik berbeda terhadap peran dan partisipasi lokal masyarakat terhadap pembangunan kesehatan di daerahnya.3

       Pendekatan perspektif Laswellian dalam system thinker adalah proses analisis konstruksi suatu nilai didapat dan bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tersebut menjadi kekuatan institusional yang berdayaguna. Nilai tersebut memiliki dampak partisipatif yang berkemampuan memberikan suatu penjelasan (enlightenment), kekayaan (wealth), kesejahteraan (wellbeing), keahlian, afeksi, respek dan sikap yang benar (rectitude). Pendekatan konsep  ini yang perlu didukung  menjadi nilai kebijakan system thinker yaitu dengan adanya ;1) Nilai rasa hormat dan institusi. Nilai ini mewujud dalam bentuk kekuasaan pemerintahan sebagai institusi politik dan legal, penerangan/penjelasan (enlightemen) institusi riset, media massa, kekayaan produksi dan institusi pasar.;2) Nilai kemakmuran (walfare) dan institusi. Nilai ini menampilkan dan mengimplementasikan aspek kesejahteraan institusi perawatan kesehatan/medis, aspek keahlian mencakup institusi yang memberikan training dan keahlian di bidang seni, kerajinan dan profesi, aspek afeksi yang terdiri dari keluarga dan kawan, aspek respek merupakan pengejawantahan institusi yang memberi penghargaan dan penghormatan dan aspek sikap yang benar berupa institusi yang mengaplikasikan standar regilius dan etis.

Partisipasi Komunitas

            Titik tumpu dari networking thinking adalah partisipasi komunitas sebagai inti pergerakan dinamisasi di masyarakat. Partisipasi komunitas menjadi nilai penting, sebab stratifikasi dengan berbagai segmen persepsi politik, kultur dan kinerja keterlibatan, menjadi faktor penting dalam merajut tali kebersamaan menjadi nilai kebhinekaan yang menyatu sebagai suatu proses politik spirit inovasi kebangsaan dan ketahanan nasional. Hal ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini:

Model Proses Politik Kesehatan (Laswell, Modifikasi) 

            Model proses politik yang kesehatan dikemukakan diatas mengacu kepada perspektif pengambilan keputusan, memerlukan suatu kohevisitas. Keputusan kohevisitas dilaksanakan berdasarkan prinsip groupthinker yang memiliki kompetensi dan keandalan berbasiskan kepada spirit de corps diantara anggota kelompok pembuat keputusan, namun disisi lain akan berkembang suatu pemikiran kritis dan independent memberikan ancaman dan kecemasan irasional terhadap pergesekan pengambilan keputusan. Kekuatan keterpaduan dalam kelompok akan meningkatkan kohesivitas dan kepercayaan membentuk nilai-nilai inovasi baru sebagai suatu kesepakatan (concurrence).

            Kohesivitas pengambilan keputusan group thinker dalam konteks networking thinker sangat menentukan untuk melihat situasional organisasi dan situasional proaktif sebagai kekuatan partisipatif komunitas. Hal ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini :

Gambar Kohesivitas Group Thinker (Modifikasi)

 Kompetensi dan Kendali Mutu System Thinker

            Bagaimana agar system thinker efektif dan memiliki efikasi maksimal? Memerlukan kajian komprehensif dan nilai kewaspadaan (precaution). Sebab, System Thinker yang bermanfaat ditentukan oleh suatu proses politik yang melibatkan partisipasi komunitas. Jika tidak disiapkan dengan transparan bersemangat inovasi, akan berdampak networking thinker dan kebijakan publik yang tidak membela nilai ketahanan bangsa.

            Salah satu alat ukur untuk menilai secara objektif berjalannya keseimbangan system thinker dan networking thinker adalah kompetensi dan kendali mutu. Kompetensi menunjukkan suatu kemampuan/kapabilitas individu/pimpinan yang ditunjukkan dengan kinerja baik dalam jabatan/pekerjaannya. Evidence yang memuat kapasitas ini adalah memiliki pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang digunakan untuk meningkatkan kinerja yang senantiasa bertransformasi menjadi kualitas lebih baik dari peran-peran yang ditampilkannya.

            Kompetensi dalam istilah medis dapat diasumsikan sebagai kapasitas kekuatan host (tubuh). Host yang kompeten adalah yang sudah ditempa melalui dua pola dan gerak perjuangan yaitu perjuangan fisik dan perjuangan kejiwaan. Fisik yang kuat tidak semata terbentuk oleh proses dan mekanisme yang cepat dan sederhana, namun melalui algoritma pembinaan fisik, nutrisi yang sehat dan berkah sehingga metabolisme siklus pembentukan energi, hormonal dan mineral di sirkulasi tubuh (crebs) menjadi bola energi yang transparan dan maksimal memanfaatkan hasil metabolisme dan oksidasi tubuh berkesinambungan, membentuk system thinker yang senantiasa distimulasi oleh nilai-nilai inovasi. Jiwa yang kuat adalah terjalinnya pembentukan sistem hormonal dan jaras-jaras metabolisme energi yang mengisi sinap-sinap kekuatan otak untuk memiliki dimensi berpikir positif dan optimis diperkuat oleh nilai-nilai Illahiah sebagai kekuatan rohani membentuk karakterisasi rahmatan lil alamin  senantiasa berjuang untuk kebersamaan tanpa sekat. Realitas kebinekaan yang ada justru menjadi perekat kerjasama dan kebersamaan menerapkan networking thinker mewujudkan nilai kebangsaan dan ketahanan nasional yang kuat melalui partisipasi masyarakat berkelanjutan.

            Kendali mutu merupakan perangkat lunak dalam memvalidasi system thinker dan networking thinker pada ‘tracknya’. Kendali mutu sebagai siklus yang bertujuan untuk melihat problematika yang terjadi di tingkat kebijakan dan lapangan apakah suatu memenuhi kualitas target organisasi. Kendali mutu memuat produktivitas, keamanan, keselamatan, metode kerja, menciptakan pola hubungan yang lebih baik, mengelola manajemen konflik, memelihara nilai prestasi dan penguatan kolaborasi.4

            Kendali mutu adalah alat ukur pemberdayaan berkelanjutan terkait dengan SDM group thinker terjaga kohesivitasnya. Kendali mutu lebih fokus bagaimana kohesivitas organisasi menjadi tali temali rajutan yang kuat sehingga berbagai komponen kompetensi yang bergerak dinamis senantiasa berada dalam naungan yang kuat seperti sarang labah labah. Diharapkan melalui kompetensi dan kendali mutu yang terukur tersebut, system thinker dan networking thinker berada dalam arah jalur tol yang sama.

Kesimpulan

            System Thinker dan Networking Thinker adalah nilai national building yang perlu ditatah bata demi bata sehingga terbentuk tiang bangunan yang kokoh. Kekohan bangunan akan membentuk kohesivitas yang kuat didukung oleh kompetensi dan kendali mutu terukur, berbasiskan spirit inovasi kebinekaan untuk ketahanan bangsa.

Dr.dr.Soroy Lardo,SpPD FINASIM. Kepala Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto. Doktor Lulusan Universitas Gadjah Mada

 

Rujukan

  1. Riant Nugroho. Model Institusional, Model Matematika dan Model Behavioural. Media Sosial 9 November 2019
  2. Roy T Amboro. Neuroleadership in Action. PT Tosca Jaya Indonesia, 2018. h.65-84
  3. Wayne Parson. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. PT Kencana. 2017.h.366-345
  4. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. PT Refika Aditama, 2017. h.205-225

­

Bagikan