oleh:
Soroy Lardo
Jika kita menatap langit dan menjejak tapak bangsa, mengemuka tataran luas keanekaragaman dan kebinekaan potensi kehidupan bersirkulasi mengisi denyut-denyut nadi kenusantaraan. Denyut nadi tersebut memberi sinyal berpendar dan bercahayanya nilai-nilai keluhuran demokrasi dan gotong royong, menyatu dengan kultur insani yang berasaskan sila Pancasila.
Indonesia memiliki karakteristik yang ‘khas’ untuk mewujudkan kultur kebersamaan, menyeruak dari Sabang ke Merauke membentang gugusan pulau dan kekayaan laut serta kekayaan alam lainnya ‘bak’ kebinekaan yang menyatu dalam satu gugusan cita.
Nuansa penting yang perlu dipahami dari ke Indonesiaan adalah konsep hallmark dan cornerstone sebagai basis tali kebersamaan untuk mewujudkan nafas kebangsaan. Hallmark adalah simbol dan spirit inovasi yang bercirikan atribut bertumpu kepada nilai-nilai cipta (orisinal) untuk menampilkan potensi kebangsaan, berkelanjutan dengan potensi terbaiknya. Sedangkan cornerstone adalah batu penjuru yang mengisi titik-titik perbatasan dengan kekuatan sumberdaya untuk mempertahankan setiap sisi wilayah bangsa. Cornerstone bermakna suatu wahana yang menjadi kekuatan penting untuk mempertahankan kualitas bangsa.
Hallmark dan Sumberdaya Bangsa
Spirit inovasi mencirikan gagasan kebangsaan yang mengalir melalui wadah-wadah penempaan dan perjuangan bangsa. Sejarah perjuangan kemerdekaan menembus sekat-sekat hati pejuang bangsa dengan kekuatan gerilya pantang menyerah membentuk nilai baja kerohaniaan untuk sabar dan bergerak meraih kemerdekaan. Nilai kerohaniaan ini menjadi kalbu kebangsaan yang menyeruak sebagai tali-tali demokrasi untuk membangun kedaulatan dibawah naungan NKRI. Hallmark pertama yang muncul adalah pernyataan kemerdekaan Indonesia tgl 17 Agustus 1945. Kandungan sejarah dari Hallmark kemerdekaan adalah kesadaran realitas sebagai bangsa yang besar memerlukan effort bersama mewujudkan kebinekaan menjadi peta jalan dan gelora baru menapak dan membumikan Indonesia, lebih lanjut menguatkan tiang-tiang kebangsaan dalam bangunan yang kokoh.
Spirit memagari pagar kedaulatan berjalan mengikuti arus dan pergolakan bangsa saat dimulainya kekuasaan orde baru yang menekankan pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Zaman orde baru merupakan transformasi kekuatan pertahanan negara untuk mengisi dimensi kemasyarakatan dengan harapan tercapainya akselerasi pembangunan melalui inovasi grass root yang diperkuat kelembagaan politik daerah. Pada masa itu bintara teritorial memiliki peran penting untuk menguatkan posyandu sehingga memiliki nilai efektif untuk pemberdayaan masyarakat.
Zona hallmark bergerak ‘bak’ gayung yang menuangkan air dari sumur ke bak air. Pengisian air secara bertahap mengalir untuk mengisi nilai kejuangan sampai dengan titik utama yaitu kapasitas kepemimpinan yang sudah teruji dan terasah menggerakkan pembangunan bangsa. Penempaan dan proses ini merupakan filosofi dasar betapa kejernihan air yang mengalir merupakan petanda kebersihan hati yang dikikir dalam kalbu yang kuat, sehingga saat terjun kelapangan, seorang calon pemimpin sudah melekatkan kemampuan manajerial kebangsaan nurani untuk kesejahteraan rakyat.
Hallmark kebangsaan dapat diwujudkan dalam bentuk spirit inovasi maupun suatu gerakkan organisasi partisipatif. Area kunci dari hallmark kebangsaan adalah fokus dan kepedulian terhadap elemen dasar kebutuhan bangsa yaitu kesehatan, kesadaran masyarakat, pendidikan, membangun perdamaian, akuntabilitas, proteksi dan pemberdayaan. Gerakkan organisasi baik birokrasi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berkomitmen menciptakan dampak positif terhadap masyarakat memiliki kesadaran pentingnya suatu pembangunan berkelanjutan, menginspirasi akar masyarakat untuk lahirnya pemimpin yang diandalkan, menjadi kekuatan pemantau objektif terhadap kebijakan pemerintah dan cadangan kapital potensi kemanusiaan untuk menggerakkan nafas nafas kebangsaan (nation oxygen delivery) untuk mengisi energi-energi di setiap titik pembangunan di negeri ini.
Salah satu hallmark pembangunan berkelanjutan adalah kultivitasi kepemimpinan sejak dini. Proses pendidikan kepimpinan sudah dicanangkan sejak awal melalui tahapan yang berjenjang. Satu pepatah cina (chines proverb) menyatakan: “Jika anda menginginkan satu tahun kemakmuran, tanamlah gandum”, Jika anda ingin sepuluh tahun kemakmuran, tahamlah hutan”, dan “Jika anda menginginkan seratus tahun kemakmuran, tumbuhkan pemimpin”. Mengkaji falsafah cina yang mengemuka tersebut, pendidikan usia dini memiliki peran dalam kesinambungan kepemimpinan suatu bangsa. Salah satu bagian keilmuan di bidang kesehatan anak adalah tumbuh kembang. Fokus utama anak berkualitas dimasa depan ditentukan oleh proses asupan multiaspek sehingga tercipta keseimbangan fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik. Menarik untuk menjadi pembelajaran, pendidikan anak usia dini merupakan komoditas bangsa yang menentukan dalam mempersiapkan generasi masa depan. Perawatan pendidikan dini akan mengisi nilai-nilai berharga dalam menjaga tradisional akar sejarah, gagasan kehidupan yang berkemampuan menciptakan kejuangan untuk beradaptasi dan nilai kreatif yang menumbuhkan karya dan teori baru pada saat berkembang berikutnya. 1
Perawatan pendidikan dengan demikian merupakan hallmark untuk menumbuhkan varietas generasi berikutnya. Kondisi ini diumpamakan dengan membudidayakan suatu varietas jagung yang ‘keren’ saat orde baru. Varietas jagung merupakan suatu perjalanan saintifik untuk merubah peradaban ketergantungan dari pangan. Peradaban tersebut dibentuk melalui suatu kebijakan struktural progresif berdampak kepada akselerasi sosial. Kebijakan politik varietas jagung mengungkapkan varian filosofi ilmu yang memiliki kandungan multidisiplin keilmuan (biokimia, biologi dan pertanian) untuk mendisain varietas baru yang memiliki nilai produktif untuk masyarakat. Dalam perspektif leadership, pola ini mengungkapkan relasi perawatan untuk tidak berhenti melaksanakan proses pendidikan berbasiskan kepada realitas berkeadilan untuk menjembatani potensi lokal tradisional menjadi varietas baru kepemimpinan di masyarakat. Varietas ini secara eksotis merupakan bulir-bulir yang sudah ditempa melalui learning by doing menjadi tanaman kokoh yang menopang penerapan ketegaran akses kepemimpinan di lapangan.
Sumber daya manusia dan pendidikan merupakan konsistensi linier meningkatnya potensi individual dalam organisasi. Proses pendidikan yang dibina sejak dini bertitik tumpu kepada sistem pengajaran yang memiliki nilai analisis objektif, fleksibel dan berkemampuan untuk dilakukan reinterpreatasi. Proses pendidikan kepemimpinan yang memfokuskan kepada nilai keakraban, fleksibilitas, keragaman dan individualisasi akan berbeda output-nya jika proses pendidikan berbasiskan kepada formalitas, keseragaman, kekakuan dan biroraksi konvensional. Kedua proses tersebut secara realitas lapangan tidaklah seideal yang diharapkan dengan kesadaran bahwa kompetisi kepemimpinan adalah suatu perjuangan kelangsungan hidup dalam kondisi tertentu mengabaikan kolaborasi sebagai inti dan tujuan bersama, namun mengedepankan intervensi bahkan mengambil alih fungsi yang sudah dimiliki kompetitor. Mengkaji uraian diatas menjadi tantangan tersendiri prioritas pendidikan dini bertitik tolak kompetisi sehat sebagai pupuk komitmen untuk berkolaborasi, sehingga output operasional adalah etos kerja dan produktivitas sebagai transenden organisasi.
Hallmark dan Kinerja Kepemimpinan
Tidaklah mudah menilai kinerja kepemimpinan, sebab Indonesia adalah wadah besar dengan kebinekaan kultur kepemimpinan. Kita mengenal pemimpin tradisional di berbagai desa, bahkan ulama/tokoh agama memiliki nilai karismatik untuk menggerakkan masyarakatnya. Saat itu belum banyak buku atau pelatihan yang memberikan kunci-kunci untuk menjadi pemimpin sukses. Keberhasilan kepemimpinan ini menunjukkan proses tradisional yang mengedepankan suatu gagasan kolaborasi dan kesukesan kolektif, ternyata melahirkan pemimpin-pemimpin baru di setiap daerah, dan proses ini memiliki kemaknaan keberlanjutan.
Teori kepemimpinan tradisional bertitik tolak dari potensi alamiah dan pendidikan karakter yang ditempa oleh keikhlasan menerjuni dan mendengarkan problematika di masyarakat. Munculnya keberagaman kepemimpinan ini menjadi landasan konseptual untuk menyusun teori kepemimpinan berbasis aplikasi lapangan. Konseptualisasi menunjukkan bahwa perawatan dan budaya pendidikan yang berhasil merumuskan nilai tradisional kepemimpinan, akan membentuk entitas bekerja bersama dan bersama bekerja yang dalam prosesnya akan bergerak sebagai suatu kohesi kepemimpinan layaknya sistem tubuh dengan sirkulasi darah yang bekerja dengan baik. Menurut Peter Senge dalam The Fifth Dicipline (1990) mengemukakan kepemimpinan yang baik adalah senantiasa memberikan contoh menaati sistem dan aturan organisasi yang telah disepakati bersama dan menjalaninya sebagai suatu proses pembelajaran. Dalam hal ini, pemimpin berperan sebagai disainer, pelayan dan guru. Karismatik yang terbentuk di tengah masyarakatnya memberikan nilai sebagai pemimpin yang berdaya dan berorientasi perubahan. Menurut Robert Kelley dalam karyanya The Power of Fellowership (1992) setiap pemimpin dalam menghadapi kondisi persaingan hendaknya menjadi kekuatan positif yang selalu menjalankan pilar efektifitas berbasiskan kondisi realitas yang terjadi. Peran pendidikan dini menentukan lahirnya pemimpin yang mampu menerapkan kompetensinya berbasiskan integritas. Istilah kerennya menurut N Margaret Mead pemimpin yang memahami keanekaragaman sebagai kepedulian untuk bertransformasi terhadap perubahan.2
Salah satu identitas kepemimpinan yang bermakna adalah menumbuhkan suatu kepercayaan (trust) di masyarakat. Kepercayaan merupakan inti yaitu membuminya kandungan akal dan kalbu seorang pemimpin melekat di setiap individu yang dipimpinnya. Akal dan kalbu pemimpin menjadi jembatan sejauhmana konsep, ideologi dan logika yang dikembangkan dan dituangkan dalam kerangka teori dan kerangka konsep serta mudah dipahami oleh konstituennya, berujung kepada nilai implementasi yang bergerak sebagai kultur budaya dan dinamisasi fungsional yang berdampak sosial dan ekonomi.
Menurut The Great Workplace (2011) kredibilitas merupakan salah satu batang tubuh dari kepercayaan. Kredibilitas merupakan karakter yang mewadahi multidimensi dan otentifikasi dari kepercayaan, keahlian, kelayakan dan integritas. Kredibilitas sebagai kompetensi seorang pemimpin harus memenuhi tiga perilaku yaitu ;1) Memiliki keterbukaan informasi terkait dengan kapasitas kepemimpinannya sehingga setiap kebijakan yang diputuskan dapat disosialisasikan sebagai komunikasi dua arah ;2) Karakteristik dan integritas keahlian yang dimiliki sebagai modal kepemimpinan, tertuang di ruang terbuka komunikasi masyarakat yang ditampilkan sebagai ketrampilan bersikap rendah hati dan bersahabat;3) Memiliki integritas dari segi keilmuan dan ketrampilan kepemimpinan lapangan, terdapatnya kesesuaian diantara kata dan perbuatan (integritas/amanah).2
Pengenalan diri seorang pemimpin (leadership selfdefence) adalah yang memiliki karakter dan jiwa untuk senantiasa menuntaskan pekerjaan. Komitmen tuntas adalah salah satu upaya untuk memelihara kemaknaan sebagai pemimpin dengan effort untuk menuntaskan perkerjaan yaitu mencintai pekerjaan, rasa memiliki yang kuat, menyelesaikan sampai dengan lapisan akar terbawah dan mereduksi permasalahan yang timbul di kemudian hari.
Terdapat tiga E kepemimpinan yang harus dimiliki seorang pemimpin jika tetap berperan sebagai corner stone yaitu equipping, empowering, dan exposure. Equipping adalah suatu mekanisme ‘mempersenjatai’ anggota dengan keilmuan, ketrampilan dan inovasi kreatif untuk mendukung visi dan misi organisasi. Equipping adalah proses memperkuat ‘bak’ barak militer yang akan ditugaskan ke medan perang, memerlukan mekanisme pendidikan dan pelatihan, sehingga kualitas anggota yang akan diterjunkan memiliki kesiapan untuk menghadapi varian cumemu (cuaca medan dan musuh). Keterampilan menghadapi berbagai aspek dan lingkungan yang terkait cumemu menjadi keandalan penting setiap anggota organisasi untuk mendukung pimpinannya menghadapi situasi dan kondisi mendesak maupun emergensi. Empowering adalah suatu mekanisme dan proses memberdayakan anggota masyarakat dan atau komunitas untuk berkembang dan dapat diandalkan. Proses empowering dibekali oleh sistem dan pendidikan konsisten dan berkelanjutan untuk membentuk karakter kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap setiap penugasan. Empowering adalah langkah maju ke depan untuk membentuk kepercayaan dalam lingkup siklus kepemimpinan, sebagai trust leadership. Exposure merupakan komitmen seorang pimpinan untuk menciptakan gerak dan rantai organisasi yang memberikan kondusivitas lingkungan, sistem dan kebijakan untuk mendukung mekanisme kerja berbasiskan kompetisi sehat. Siklus organisasi yang kuat dan sehat, dinamika capaian kerja terukur dengan terciptanya budaya kerja dan persaingan yang sehat. Seorang pimpinan walaupun memiliki ‘hak prerogatif’ menentukan karir anggotanya, namun porsi terbesar penentuan anggota yang akan menapak karir lebih baik berdasarkan kualifikasi kompetensi dan ‘persetujuan’ peer group.2
Hallmark dan Ekosistem Kebangsaan
Hallmark dan ekosistem kebangsaan bergerak ‘bak’ cawan air jernih yang menetes daun hijau menampilkan cahaya multifungsi untuk menerangi karakteristik kebinekaan yang dipayungi oleh keanekargaman potensi, karakteristik dan nilai pembeda untuk setiap daerah. Setiap daerah memiliki alturistik yang berbeda, memuat dan menampilkan karakteristik daerahnya yang didayagunakan sebagai energi partisipatif masyarakat. Energi partisipatif ini menaungi elemen-elemen potensi masyarakat yang tersembunyi menjadi mata air baru untuk memperkuat ekosistem kebangsaan. Potensi daerah yang tersebar menguak dimensi harapan untuk menstimulasi kekuatan ekonomi desa sehingga memiliki multi fungsi, multi makna dan multi alternatif untuk mewujudkan koherensi yang kuat diantara kebijakan politik, partisipasi sosial dan kultur kinerja hidup yang lebih baik.
Ekosistem kebangsaan merupakan keniscayaan yang perlu direnggut dan dipelihara selama nilai-nilai sang merah putih berkibar dari Sabang ke Merauke. Ekosistem kebangsaan menjadi pilar dan cahaya berpendarnya potensi-potensi daerah yang diraup sebagai kekuatan energi dan kohesi kegotongroyongan yang membelah daun daun ranting daerah menyatu menjadi pohon-pohon rindang kebangsaan yang kokoh.
Salah satu dimensi ekosistem kebangsaan adalah terwujudnya kultur dan spirit kerjasama untuk mengembangkan potensi ekonomi daerah menuju kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Spirit tersebut berpijak kepada sekuensi gerak masyarakat dinamis bersinergi dengan titik-titik ekonomi pedesaan yang bersiklus diantara sumberdaya pertanian – petani dan koperasi sebagai bola salju yang terus bergulir.
Salah satu Hallmark ekosistem kebangsaan adalah nilai-nilai keadilan sosial, menaut sebagai rantai kebangsaan yang kuat. Indonesia dengan sila ke-lima adalah cita-cita sejarah yang harus diperjuangkan oleh negara, sebagai relevansi dan prinsip rakyat Indonesia menjalani era demokrasi dan globalisasi.
Indonesia sebagai negara besar menghadapi realitas problematika dan kesenjangan sosial yang semakin lebar diantara rasionalitas bernegara dengan realitas empirik kehidupan bernegara. Menurut Yudi Latif dasar negara Pancasila menegaskan cita-cita demokrasi bukan saja memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik, namun juga emansipasi di bidang ekonomi.3
Mengkaji uraian diatas problematika keadilan sosial dapat ditinjau dari dua sisi yaitu perspektif nasional dan perspektif global. Perspektif nasional merupakan tuntutan sejarah bergerak mengikuti karakteristik periodik pemerintah yang memiliki pola tersendiri untuk menyikapi ekosistem keadilan sosial. Cita kemerdekaan bangsa dalam perjalanan republik ini menunjukkan spirit keadilan sosial sejalan dengan perjalanan gerakan sosial dan demokrasi baik oleh aktivis, gerakan mahasiswa dan petani serta tuntutan perbaikan sosial dari berbagai elemen masyarakat lainnya. Reformasi 1988 merupakan perwujudan dari perjuangan panjang kalangan aktivis dan gerakan sosial dalam menggugat ketidakadilan sosial yang berlangsung pada erah Suharto dengan hegemoni pembangunannya. Perspektif global mengacu kepada sistem kapitalisme dengan bergeraknya roda ekonomi dan perputaran kapital bergerak menjauhi distribusi ekonomi produktif sehingga berimplikasi terhadap capaian peradaban modern yang berkeadilan.3
Mengingat sedemikian lebarnya diantara cita keadilan dan realitas ketimpangan sosial di masyarakat, langka pertama yang perlu dikaji adalah melihat perspektif sosial melalui makna dan nilai ketidak adilan sosial sebagai filosofi keilmuan. Beberapa aspek yang perlu menjadi ulasan adalah bagaimana membedakan antara ketimpangan sosial yang sejalan dengan ketidakadilan sosial, bagaimana membedakan antara ketimpangan sosial (social inequity) dengan keragaman sosial (social difference) dan sejauhmana pesan pesan sosial dapat menembus realitas kebutuhan masyarakat.4
Salah satu aspek yang perlu dipahami bersama adalah peranan cendekiawan dalam keadilan sosial. Cendekiawan dengan tanggung jawab moralnya bertanggung jawab terhadap transformasi dan rekonstruksi sosial, yaitu menjadi jembatan diantara kekuatan topdown birokrasi dengan partisipasi tingkat grassroot. Tanggung jawab ini akan mengemuka menuju landasan piranti sosial yang bertumpu kepada nilai etik dan kultur yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat (trust).4
Bagaimana meletakkan peran dan tanggung jawab sebagai akademisi /cendekiawan? Dengan menyanding gelar akademis yang setumpuk tidak akan relevan jika tidak disertai kemampuan dan kepedulian sebagai akademisi terkait batasan ilmunya yang terbatas, memerlukan suatu sinergitas dan kolaborasi dengan bidang keilmuan lainnya. Akademisi yang mencoba mengembangkan keilmuannya pada tingkat grassroot harus menempa karakter untuk berkiprah sebagai praktisi dalam konteks kesadaran dan pengetahuan politik, bahwa ilmunya memiliki manfaat yang besar untuk lingkungannya. Nilai apa yang dicapai? Nilai epistemiologis yang memiliki kemaknaan aksiologis yang berkemampuan merubah mindset di masyarakat, sesuai dengan pendapat Albert Einstein “Education is not learning the facts, but the training of the mind to think”.4
Seorang cendekiawan dalam kolaborasi praktis di masyarakat berkemampuan mengembangkan dua pola komunikasi bahasa yaitu bahasa proporsional (proportional language) sebagai bahasa keilmuan yang sulit dipahami oleh masyarakat awam mentranslasikan menjadi suatu bahasa rakyat (descriptive language) sehingga setiap ide kebijakan berasaskan keadilan sosial berdampak kepada perubahan dinamis di masyarakat. Sinergitas diantara kedua terminologi bahasa tersebut harus didukung oleh khazanah latar belakang keilmuan yang luas yang diera postmodern ini menjadi suatu ilmu yang memiliki introduksi keadilan sosial berbasiskan lintas budaya, lintas bahasa yang kemudian direkonstruksi menjadi kekuatan spiritual dan critical thinking masyarakat.4
Kajian sosial kesehatan terkait dengan ekosistem kebangsaan yaitu transformasi pendidikan kesehatan berbasis dinamisasi sosial masyarakat. Tataran yang dibangun di masyarakat, terjalinnya interaksi pendidikan sosial dan teknologi berkelindan di setiap lapisan masyarakat, muncul sebagai potensi ‘bak’ air mengalir menguatkan sinergitas gerak masyarakat dalam menjalankan fungsi sosial dan teknologinya. Tujuan utama harmonisasi ini adalah terbentuknya peradaban kehidupan untuk mendukung keselamatan (safety), pengendalian komunitas (community control) dan gerak kesinambungan membangun kehidupan yang lebih baik (sustainable health living).
Kapabilitas sosial kesehatan terkait dengan interelasi nilai kemasyarakatan dan keilmuan yang memfokuskan kepada survaillans dan studi kualitatif, peta geomedik di suatu area, pemahaman dan penerapan interaksi kasus di suatu komunitas yang berpotensi outbreak, kesiapsiagaan perangkat parameter sosial kesehatan sebagai indikator tingkat morbiditas dan mortalitas, penentuan indeks kualitas dan prediksi pemantauan penyakit berdampak komunitas.
Hallmark yang diharapkan adalah pendekatan preventif dan promotif yang diterapkan mewujud menjadi kultur hidup sehat berdampak sebagai konsistensi budaya. Mekanisme dan proses untuk mencapai nilai preventif dan promotif tersebut dapat dilaksanakan melalui;1) Pendekatan Integrasi Sosial. Pendekatan ini memfokuskan keterpaduan diantara kebijakan dan aplikasi di lapangan sosial, mewujud menjadi pola dan manajemen sosial yang berorientasi tercapainya health security di masyarakat. Pendekatan ini diharapkan dapat menautkan parameter dan stratifikasi kesehatan sebagai sistem monitoring dan evaluasi yang berkemampuan memformulasikan kualitas hidup sehat masyarakat secara terukur ;2) Pendekatan Manajemen Terpadu. Pendekatan ini bertumpu kepada keterlibatan kesehatan sosial terhadap perkembangan global penyakit (bioterorisme dan biosecurity) dengan titik berat mengembangkan parameter patologi sosial sebagai pendekatan keilmuannya;3) Pendekatan Teknologi Kedokteran. Pendekatan ini merupakan alat ukur dan alat uji digitalisasi teknologi untuk mendukung kemampuan prediksi terjadinya potensi outbreak dan kompleksitas di masyarakat dengan harapan teknologi tersebut akan berdiversifikasi menjadi suatu modelling bagaimana menghadapi tantangan global kesehatan secara terprogram;4) Pendekatan Kultur Keilmuan. Pendekatan ini menjembatani interrelasi sosial dan teknologi untuk membangun budaya siap pakai dan budaya merajut organisasi sebagai bagian keseharian hidup yang terinternalisasi di masyarakat yaitu aspek budaya kohesif dan integratif. Keempat aspek ini akan menjadi kekuatan konstruksi masyarakat sehingga terbentuk suatu kepemimpinan moral yang mendukung perubahan di masyarakat.
Cornerstone dan Roda Kebangsaan
Dinamika roda kebangsaan menyeruak dalam pedati-pedati yang bergerak sebagai gerobak material kesehatan untuk mengisi titik-titik dan jejak problematika kesehatan di setiap jeruji perbatasan, dengan keterbatasan SDM dan fasilitas. Material tersebut memuat intervensi penguatan SDM dan intensifikasi proses untuk menilai sejauh mana gerak partisipasi masyarakat mewujud sebagai gerak kultural dan health security, untuk memahat roda-roda pedati kebangsaan tetap utuh. Roda tersebut berputar dan menguatkan landasan tanah nusantara berada dalam bingkai ketahanan nasional.
Perbatasan Indonesia merupakan wilayah krusial ditinjau dari segi sumber daya ketahanan berdimensi kekuatan sosial dan ekonomi. Sumber daya menjadi titik acuan di setiap lini area perbatasan / daerah terpencil sebagai kekuatan spirit dan penggerak untuk memajukan masyarakatnya. Daerah perbatasan / pulau terpencil adalah area transisi perubahan dari perspektif tradisional menuju perspektif pembuka cakrawala yaitu investasi terkait dengan memajukan kesadaran pentingnya pendidikan dan kesehatan sebagai penopang bergeraknya ekonomi lokal menuju interelasi investasi antar daerah, sebagai area transisi diantara kelompok pendatang yang berprinsip modernitas dengan penduduk asli yang berprinsip konservatif. Inisiasi awal dapat terjadi konflik kepentingan antara masyarakat sekitar, pendatang modernitas dalam memanfaatkan teknologi pada satu sisi, akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global. Setiap daerah perbatasan dengan posisi strategisnya memerlukan deskripsi kualitatif dan kuantitatif sebagai kawasan perbatasan yang memiliki karakteristik garda pertahanan negara.5
Cornerstone dan Roda Kebangsaan
Cornerstone roda kebangsaan menjadi strategi untuk menguatkan keamanan nasional dengan tiga pilar yaitu pilar politik, pilar ekonomi dan pilar pertahanan /militer. Pilar ini diperkuat dengan kebijakan yang mengembangkan instrumen keamanan nasional/pertahanan negara. Sistem pertahanan negara ini mencakup kemampuan menghadapi ancaman militer dan nir militer dan pendayagunaan komponen pertahanan negara. Hal ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
Gambar Sistem Pertahanan Negara (Ancaman Militer dan Nir Militer) dikutip dari Wan Usman. Strategi Pengembangan Tiga Pulau Terluar Dari Sudut Pandangan Pertahanan Negara. Dalam Bunga Rampai Ketahanan Nasional. Sekola Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia.dikutip dari 5
Kondisi ancaman militer dan non militer dalam tataran keberlangsungan bangsa menjadi tantangan tersendiri bagi health security untuk merumuskan kebijakannya. Salah satu yang dapat diajukan adalah pengembangan spiral kebangsaan yang mampu menautkan aspek pendidikan dan elemen-elemen jejaring spiral kebangsaan lainnya. Spiral kebangsaan pertama adalah penguatan internalisasi sistem informasi untuk merubah pandangan personal dan komunitas terhadap transformasi kebangsaan. Spiral kebangsaan kedua adalah pengokohan informasi menjadi kekuatan untuk berbagi sebagai suatu nilai kebenaran yang mengokohkan pandangan masyarakat terhadap suatu isu. Spiral kebangsaan ketiga adalah kemampuan untuk mendayagunakan informasi silang sebagai karakteristik perbedaan dan menjadi isu publik untuk mencerahkan persepsi masyarakat. Spiral kebangsaan keempat adalah peminatan isu publik sebagai suatu dialog interaktif diantara berbagai perbedaan komunitas masyarakat yang berbeda dengan berbagai pandangan linier, menjadi suatu kekuatan informasi objektif dan nilai kolektivitas bersama.
Perspektif Baru Pembelajaran Kebangsaan era 4.0
Corner stone untuk roda kebangsaan dalam menautkan spiral kebangsaan memerlukan pendidikan kebangsaan yang berbasis kepada bentuk-bentuk pembelajaran baru dengan mengejewantahkan berbagai ide dan pemikiran yang dapat terakselerasi sebagai implementasi pendidikan 4.0.
Corner stone pendidikan kebangsaan era 4.0 merupakan transformasi pola pikir, infrastruktur teknologi untuk mendukung bentuk bentuk pembelajaran baru (new learning forms). Dengan demikian, aktivitas pembelajaran pendidikan kebangsaan 4.0 berorientasi kepada kebutuhan inovatif di masyarakat terkait dengan ekonomi digital, kecerdasan buatan (AI), big data dan teknologi robotik.6
Corner stone pendidikan kebangsaan bergerak dan mengarusutama terhadap perubahanan paradigmatik peran pendidik yang sebelumnya berdiri di depan sebagai aktor monolog dengan konsep-konsep pembelajarannya, berpindah kepada paradigmatik baru yaitu menjadi agen partisipatif perubahan yang mobil, menguasai kompetensi teknologi dan menjadi mitra dan sparing- partner siswa yang efektif. Dengan demikian, menjadi tantangan besar pemangku kebijakan untuk menyusun strategi kebijakan baru yang berkemampuan memenuhi kebutuhan kompetensi guru di era 4.0 ini terkait dengan kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional berkemampuan kemampuan mengelola pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan kompetensi ini diharapkan investasi pendidikan kebangsaan dapat menembus ruang-ruang area terpencil di pelosok nusantara.
Perspektif Corner Stone: Spirit Pancasila sebagai Energi Kebangsaan
Perspektif Corner Stone sebagai energi kebangsaan adalah suatu upaya pemberdayaan elemen kebangsaan dalam memanfaatkan teknologi digital untuk merubah perspektif konsep ketahanan semesta bangsa berbasiskan kepada standarisasi dan variabilitas yang memiliki networking menjangkau setiap titik area bangsa dengan mengembangkan Health Security Standarization System (HSSS). Konsep ini menitikberatkan kepada dinamisasi dimensi Production House – Teknologi Digital dan Energi Kebangsaan (PTE). Production House adalah material dasar bangsa yang sudah menjejak kuat di bumi Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945. Keduanya merupakan material rumah produksi bangsa yang menguatkan tali-temali kebinekaan sebagai payung keanekaragaman elemen kebangsaan.
Pancasila sebagai pembuka dan menjiwai undang-undang dasar merupakan jiwa konstitusi (l’spirit de constitution) sebagai metode berpikir ideologis dan petunjuk untuk bertindak dalam tataran kebangsaan. Pancasila sejak beberapa tahun ini mengalami pengabaian dalam debat publik yang harus dimunculkan secara dinamis dari kondisi amnesia historis semasa orde baru dengan obsesi Pancasila sebagai alat kepentingan, dikembangkan sebagai political parlance yaitu ideologi prinsip berpikir. Pancasila dalam dimensi corner stone menjadi kekuatan pertempuran berpikir (though provoking) solusi kebangsaan. Pancasila menjadi politik kenegaraan dengan prinsip berpikir kebangsaan yang senantiasa berlanjut dan berinovasi mewujudkan sila-sila Pancasila berbasis kenegaraan yang merangsang uniformitas dan berkemampuan menghimpun semua lini dalam satu bangsa dan negara.7
Refleksi Pancasila seharusnya berfokus kepada perkara praktik terhadap tafsir dan model cara berpancasila yang efektif dan berdayaguna dalam kerangka “discursive design” (bagaimana tafsir Pancasila dirumuskan dan dikembangkan) dan practises (bagaimana tafsir yang sudah dirumuskan dapat menjadi praktik keseharian). Konsep ini merupakan pemikiran dinamis tataran dan wacana Pancasila sebagai ikon dengan penerapan berpancasila secara ikonografis.8
Pancasila sebagai falsafah dan azas bernegara di era milenial ini memerlukan dorongan struktural dan partisipatif sebagai energi dinamis bangsa dalam bentuk grammar. Nilai grammar Pancasila merupakan khazanah perspektif keilmuan yang memiliki nilai positivisme melalui proses interaksi pencarian kebenaran yang didedikasikan dengan menjunjung netralitas, bebas nilai, bebas kepentingan, dan ditempatkan apa adanya, Cara pandang seperti ini bagi sebagian kalangan sulit dipahami dimensi politis dan etis yang memungkinkan watak keilmuan apolitis. Dalam konteks kebangsaan Pancasila dibutuhkan menjadi paradigam kritis transformatif berorientasi perubahan sosial dengan tahap lanjut membangun pemikiran pembebasan, emansipatif, advokatif dan transformatif dengan tujuan kondisi sosial yang lebih baik. Salah satu bentuk transformatif tersebut diantaranya aktualitasi komitmen keberagamaan, mainstraiming kemanusiaan, bersatu dalam dialektika dan grammar berkeadilan.8
Cornerstone dan Keswadayaan Hidup Sehat
Corner Stone dan energi kebangsaan adalah mengembangkan partisipasi masyarakat untuk maju dan berkemampuan dalam membangun sehat mandiri. Sehat mandiri merupakan ikon yang mengemuka sebagai nilai kesehatan bernilai agen perubahan sosial di masyarakat. Era digital dengan tingkat akumulasi sangat cepat menyebabkan tingkat berpikir, tingkat kebutuhan masyarakat senantiasa berubah, dalam konteks ini konsep hidup sehat era digital tidak sekedar sehat jasmani, jiwa dan sosial namun bergerak kepada kemasan baru mengacu kepada produktivitas yang didukung oleh lingkungan sehat berdimensi digital.9
Konsep WHO yang mengedepankan promosi, preventif, kuratif dan rehabilitatif, melalui revolusi digital akan bergerak kepada perilaku keswadayaan hidup sehat. Keswadayaan hidup sehat menata kehidupan baru yang memiliki nilai prediktif dan protektif dalam mengantisipasi kondisi penyakit yang timbul dalam konteks komunitas maupun outbreak. Keswadayaan hidup sehat akan mendeterminasi nilai-nilai dan budaya hidup sehat menembus sekat birokrasi pemerintah, dengan kekuatan grass-root communities seperti lembaga swadaya desa dan tingkat diatasnya menjadi tombak kekuatan yaitu sistem pelayanan kesehatan desa terintegrasi dan kompetensi komunitas kesehatan desa berbasiskan deteksi dini kesehatan. Tombak pertama sistem pelayanan kesehatan desa terintegrasi memuat keterpaduan infrastruktur kesehatan tingkat desa (Puskesmas) didukung oleh perangkat SDM yang sudah menjalani pendidikan dan pelatihan berorientasi kepada kasus penyakit yang dominan di tempat bertugas. Tombak kedua kompetensi komunitas kesehatan desa adalah pemberdayaan jaringan pelayanan berbasiskan kemampuan profesional dan integralitas yang mencakup keselarasan pendidikan dan pelayanan.
Kompetensi merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang digunakan untuk meningkatkan kinerja; atau keadaan kualitas yang memadai sehingga memiliki kemampuan untuk menampilkan peran tertentu. Keterpaduan diantara tombak pertama (sistem pelayanan) dan tombak kedua (kompetensi) akan menjadi tali penopang pembangunan keswadayaan kesehatan ditingkat desa dan pada tahap berikutnya bergerak ke tingkat wilayah yang lebih tinggi. Salah satu yang dapat diupayakan untuk jangka pendek misalnya dibentuknya relawan kesehatan desa peduli emergensi dan pemeliharaan kesehatan, yang memiliki kompetensi menangani jemput bola kasus emergensi di desa dan disisi lain memiliki kemampuan menjejakkan nilai-nilai budaya kesehatan secara kontinu dan berkelanjutan dengan kekuatan energi digital. Dengan demikian, diharapkan akan muncul titik titik desa menjadi pionir mengakselerasi nusantara sehat.10-12
Kesimpulan
Hallmark dan Corner Stone pengarustamaan bangsa adalah suatu dinamisasi pemberdayaan bangsa dengan mendayagunakan spirit Pancasila sebagai spiral kebangsaan melalui equipping, empowering, dan exposure untuk menumbuhkan kemandirian pembangunan kesehatan berbasiskan keswadayaan (infrastruktur dan kompetensi SDM) untuk membentuk roda kesehatan dan ketahanan bangsa yang kuat.
Daftar Pustaka
- Sharon Lynn Kagan, Lynda G. Hallmark. Cultivating Leadership in Early Care and Education, Raping Harvest of a New Approach to Leadership. Child Care Information Change.www.ChildCareExchange.com. 7/01-9
- Dedi Hermania Iskandar. Pemimpin Bermakna Pengaruh Karakteristik Pemimpin Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja. PT Elex Media Komputindo, 2019. h 50-95
- Airlangga Pribadi Kusman. Masih Relevankah Memperjuangkan Cita-cita Keadilan Sosial? Dalam Membongkar dan Merangkai Pancasila. Jurnal Prisma LP3ES, Vol 37, 2019, h 86-105.
- Nuni Nurrachman Sutojo. Cendekiawan dan Keadilan Transisi. Dalam Keadilan Transisi Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi Prisma, volume 39, 2019.h 52-69
- Wan Usman. Strategi Pengembangan Tiga Pula Terluar Dari Sudut Pandang Pertahanan Negara. Dalam Wan Usman Bunga Rampai Ketahanan Nasional.Sekola Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia 2018. h. 281-96
- Rina Herayani. Tantangan Pendidikan 4.0. Republika 10 Desember 2019
- Daniel Dhakidae. Pancasila, Prinsip Berpikir dan Ideologi Dalam Membongkar dan Merangkai Pancasila. Prisma Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi LP3ES; 37 2018.
- Purwo Santoso. Berpancasila secara Ikonografis: Saksama dalam Disain Diskursif. Dalam Membongkar dan Merangkai Pancasila. Prisma Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi LP3ES; 37 2018. h 165-81
- Soroy Lardo. Konsep Hidup Sehat Kini dan Esok. Pikiran Rakyat 19 Desember 1986
- Soroy Lardo. Dibutuhkan: Dokter Berwajah LSM. Media Indonesia, 12 Desember 1991
- Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kompetensi, Kinerja dan Produktivitas Kerja. PT Refika Aditama, 2018. h.211-28