Oleh :
Soroy Lardo
Kebijakan kesehatan nasional saat ini tidak terlepas sejarah orde baru, dengan pengembangan konsep Puskesmas sebagai Primary Health Care dan konsep Posyandu sebagai Primary Social Responsibility Health Care. Kedua konsep itu berkembang selama pemerintahan orde baru (dr Adhyatma MPH), sejalan dengan program / pertanian (Bimas dan Inmas), pendidikan, koperasi, dan satu lagi sebenarnya yang saat itu belum terlalu terbedayakan, peranan bintara teritorial dalam penguatan sistem kesehatan nasional dan kesehatan pertahanan.
Kebijakan dan Program tersebut sampai saat ini tetap berjalan, seiring dengan perubahan zaman, namun mungkin bukan kompetensi kami untuk memberikan analisisnya. Kami memiliki rekan jejaring di Pusat Analisis Determinan Kesehatan, sebagai lembaga yang diisi oleh berbagai konseptor pakar kesehatan masyarakat lulusan dalam dan luar negri, saat ini menjadi jantung kebijakan di Kemenkes. Salah satu konsep yang mungkin boleh diajukan bagaimana setiap jejaring penguatan kesehatan di masyarakat (desa) berada dalam satu atap (seperti pengaturan SIM) yang dulu pernah dikembangkan Pak Harto diantara Koperasi Desa, Surveyor Pertanian Desa, Petugas Posyandu dan bintara teritorial sebagai ujung tombak kesehatan di masyarakat. Saat ini, di era milenial dan digitalisasi, pengembangan SDM yang sadar teknologi dan berdampak sosial, perlu dirumuskan. Misalnya dulu Babinsa masih banyak yang lulusan SD, saat ini tentunya minimal SMA. Saat Pak SBY sebagai Pangdam II Sriwijaya Palembang, beliau menginstruksikan diwilayahnya agar Bintara mengambil S1.
Kebijakan berikutnya adalah melihat peta dan kompleksitas di Indonesia, tidaklah sederhana. Sebab problemanya tidak semata kepada berkembangnya permasalahan kesehatan yang mengikuti deret ukur, sedangkan alat ukur kebijakan mungkin masih belum optimal sebagai alat prediksi. Hal ini nampak dari mencuatnya kasus gizi Asmat dan Stunting, yang tentunya sangat mengancam generasi bangsa mendatang. Saat tahun 1987 kami menjalani tugas pendidikan kepaniteraan kesehatan masyarakat di Kabupaten Bandung, kami pernah keluar masuk kampung terpencil untuk pelayanan kesehatan dan melihat perkembangan Posyandu di daerah tersebut. Saat itu terbesit dari kami, banyak sekali relawan posyandu tanpa digaji yang berkorban untuk melaksanakan pemantauan gizi di kampungnya. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kepedulian kesehatan. Mudah-mudahan untuk kedepan, dengan intensifikasi gizi, misalnya jangkauan sosialisasi dan penerapan pemberian susu sejak dini sampai menjangkau desa.
Permasalah kesehatan ini tentunya perlu dilihat dari tiga sisi : (1) Kebijakan , (2) Kesehatan Komunitas, (4) Rumah Sakit dan (5) Integrasi Sistem Kesehatan – Ketahanan Nasional.
Kebijakan Kesehatan
Kebijakan kesehatan menjadi proyeksi keberhasilan pembangunan kesehatan. Kebijakan kesehatan menentukan sejauh mana masyarakat terintervensi pelayanan kesehatan, sampai daerah terpencil dan akses kesehatan sebagai perekat, yang menggerakkan kemampuan masyarakat lebih berdaya, dengan pengertian kualitas dan perilaku hidup sehat. Kebijakan kesehatan merupakan proses transformasi dan evolusi, terkait dengan perubahan dan tataran sosial. Titik tumpu kebijakan tergantung perspektif yang dibangun, apakah pendekatan institusional birokratis atau pendekatan partisipatif.
Saat orde baru kebijakan kesehatan bertumpu kepada institusional birokratis sebagai roda penggerak, menjadi mesin penggerak kesehatan, selain memperkuat kerja puskesmas, namun juga mengakomodasi peran-peran gerak partisipasi masyarakat. Saat itu yang menjadi alat ukur adalah angka kematian bayi sebagai salah satu indikator keberhasilan. Pendekatan birokratis ini dalam kondisi di lapangan cenderung memiliki titik lemah, bahwa pencatatan dan pelaporan cenderung sebagai administrasi keberhasilan, tidak melihat suatu kondisi faktual misalnya di suatu kampung terjadi kejadian luar biasa diare, ditangani secara birokratis, tidak melibatkan LSM kesehatan yang mencoba melihat kejadian dari akar masalah dan faktor faktor lingkungan perilaku dan sanitasi. Pada fase 1990 berkembang LSM kesehatan yang mencoba mendiskripsikan permasalahan kesehatan di masyarakat berbasiskan basis swadaya dan kemandirian, membuka realitas menjadi mekanisme kebijakan solusi yang lebih baik.
Kebijakan kesehatan saat ini, memasuk fase baru dengan era revolusi industri 4.0, suatu era digitalisasi, memerlukan penataan kembali penggunaan teknologi untuk mendukung program kesehatan nasional yang dapat menjangkau daerah terpencil. Pada fase ini terdapat dua hal yang perlu dikembangkan, yaitu pengembangan SDM yang mumpuni dibidang digital kesehatan yang ditempatkan dibeberapa titik dan akses terpencil dan penggunaan satelit untuk menguatkan daerah perbatasan (terdapat pengamanan perbatasan), sehingga peta geomedik yang muncul menjadi acuan dalam menentukan kebijakan kesehatan berikutnya.
Kesehatan Komunitas
Kesehatan komunitas merupakan titik krusial pemberdayaan kesehatan di masyarakat dapat berlanjut dengan baik. Tolak ukurnya adalah apakah masyarakat kita secara signifikan sudah tersentuh pelayanan kesehatan yang baik, sudah terpapar upaya preventif dan bagaimana komunikasi resiko terhadap suatu penyakit, sehingga memiliki kesadaran dalam mengantisipasi suatu penyakit. Sejauh mana kegiatan promotif kesehatan menjadi “ikon” informasi yang dapat merasuk setiap insan masyarakat, dengan demikian kemandirian sadar sehat dan lingkungan menjadi suatu kultur kehidupan. Kesehatan komunitas menjadi pilar penting pembangunan kesehatan, untuk Indonesia yang luas ini. Penggeraknya ada dua elemen, yaitu elemen birokratis pemerintah dengan perangkat kekuatannya, mengintensifkan program pemberdayaan kesehatan dan elemen kemasyarakatan, melalui partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat menguatkan spirit sosial di masyarakat untuk terlibat dan menjadikan sebagai prioritas hidupnya.
Rumah Sakit
Rumah Sakit merupakan pilar utama pelayanan kesehatan, dengan sistem rujukan berjenjang dan menjadi tangga berikutnya, dimana Puskesmas berperan sebagai jaring pelayanan kesehatan primer. Rumah Sakit memiliki multi fungsi yaitu (1) Fungsi filosofi pelayanan, (2) Fungsi Pendidikan Kesehatan, (3) Fungsi Mutu dan Keselamatan Pasien dan (4) Fungsi sosial untuk kualitas hidup lebih baik. Fungsi filosofi pelayanan adalah mewujudkan nilai pelayanan dengan bertumpu kepada asuhan pasien yang komprehensif, bertitiktolak pasien sebagai kesatuan yang utuh tidak hanya berbasis keluhan simtomatik, tetapi juga melihat kondisi komorbid (penyakit penyerta), status kekebalan tubuh (sistem imun) dan keterkaitan lingkungan, jika suatu penyakit infeksi yang berpotensi menyebar. Fungsi pendidikan kesehatan adalah berwujud interaksi yang berkesinambungan pelayanan kesehatan yang berjalan, sebagai bagian fungsi pengembangan keilmuan untuk mewujudkan optimasi pelayanan terbaik. Fungsi pendidikan merupakan salah satu pilar bergeraknya rumah sakit lebih maju, mengingat kompleksitas penyakit yang terus meningkat dan menjadi tantangan ilmu kedokteran untuk memberikan solusi terbaik. (3) Fungsi mutu dan keselamatan pasien. Mutu rumah sakit merupakan komponen terpenting sebagai alat ukur akreditasi apakah memiliki konsistensi menjaga kebijakan dan SOP mutu dengan baik, demi tercapainya aspek keselamatan pasien. Alat ukurnya adalah suatu planning dan timeline terprogram sejak masuk Unit Gawat Darurat sampai dengan selesai perawatan. (4) Fungsi sosial untuk kualitas hidup yang lebih baik, merupakan fungsi tambahan rumah sakit melihat perspektif pasien yang dirawat tidak sekedar kondisi beratnya penyakit, namun memberikan kontribusi terkait dengan kesehatan lingkungan. Salah satu contoh adalah jika terjadi suatu outbreak diare yang masuk UGD di rumah sakit, penatalaksanaan tidak hanya terhadap diare, namun melihat konteks keseluruhan kenapa terjadi wabah diare, bagaimana dengan rantai penularan, lingkungan dan sanitasi makanan di lokasi penyebab.
Integrasi Sistem Kesehatan dan Ketahanan Nasional
Sistem Kesehatan Nasional merupakan kebijakan utama untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat berdaya guna untuk kualitas hidup yang lebih baik. Kebijakan kesehatan tersebut mencakup beberapa elemen dan potensi bangsa yang perlu diperjuangkan yaitu (1) Pemberdayaan puskesmas sebagai primary health care, dengan titik tumpu promotif dan preventif. (2) Pemberdayaan dokter nusantara sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah tepencil, (3) Peningkatan ketahanan gizi bangsa melalui pemberdayaan posyandu, (5) Pengembangan dan pemberdayaan RS Kecamatan sebagai garda terdepan pelayanan spesialistik dasar, (6) Peningkatan kemampuan integrasi RS Kabupaten dengan spesifikasi area, misalnya pada daerah rawan bencana, (7) Pemberdayaan fasilitas dan SDM Kesehatan TNI sebagai mitra penggerak pelayanan di daerah, (8) Pemberdayaan bintara teritorial sebagai mitra kesinambungan kesehatan dan ketahanan bangsa.
Pemberdayaan puskesmas sebagai primary health care merupakan tuntunan pembangunan bangsa yang secara historis sudah berjalan dalam beberapa dekade. Inovasi dan Modifikasi terus dikembangkan sebagai FKPT (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama), sesuai dengan tuntutan zaman. Stratifikasi puskesmas sesuai dengan kondisi geomedik menjadi acuan peran dan fungsinya dengan ‘spesifikasi khusus di masyarakat. Hal ini tentunya yang membedakan puskesmas di perkotaan dengan puskesmas di daerah terpencil. Namun perangkat dan regulasi yang dijalankan saat ini terkait dengan akreditasi, kompetensi dan jangkauan pelayanan sudah terpola dengan baik, termasuk penguatan SDM.
Perspektif yang perlu dibangun Puskesmas sebagai FKPT adalah menguatkan peran-perannya dalam bidang peran keswadayaan dan partisipatif, situasi medik daerah dan teritorial kesehatan pertahan dan organizing of change posyandu. Peran keswadayaan adalah menguak pemberdayaan dan penumbuhan kemandirian masyarakat sebagai dimensi tegaknya tubuh masyarakat untuk tetap kuat dan berelaborasi dalam mempertahankan prinsip-prinsip kesehatan sosial masyarakat dalam mempertahankan prinsip kesehatan sosial masyarakat yaitu produktivitas masyarakat yang selalu terjaga. Peran situasi medik dan teritorial kesehatan pertahanan adalah puskesmas menjadi titik tumpu pemetaan situasi kesehatan sebagai tautan karakteristik pelayanan kesehatan dan ciri khas dari setiap daerah maupun regional. Melalui pola tersebut kebijakan kesehatan disusun berdasarkan peringkat prioritas kesehatan yang terintegrasi dengan konsep ketahanan nasional dengan ujung tombaknya bintara teritorial. Peran Posyandu sebagai “organizing of change” merupakan spirit untuk memberdayakan organisasi ujung tombak ini sebagai “center of excellent community health “ melalui peningkatan kemampuan organisasi, kapabilitas dan kompetensi kader. Penguatan organisasi Posyandu dapat dikembangkan menjadi suatu modelling partisipatif berbasiskan kesehatan lingkungan, sehingga dengan didukung oleh digitalisasi teknologi dapat mengelola sistem kerjanya secara otonom dan mandiri berdasarkan karakteristik kesehatan daerah kerjanya.
Kesimpulan : Strategi Kesehatan untuk Kedaulatan Bangsa, sebagai catatan dan gagasan merupakan suatu pemberdayaan potensi kapasitas fleksibilitas birokrasi menjadi berdaya menjadi kekuatan partisipatif, dengan mengembangkan kemandirian Posyandu sebagai “center of excellent community health”.
Dr.dr.Soroy Lardo, SpPD FINASIM.
Kepala Divisi Penyakit Tropik Infeksi, Departemen Penyakit Dalam
RSPAD Gatot Soebroto.