Kebijakan Pro Aktif Egalitarianisme dan Leadership PPI

oleh :

Soroy Lardo

Pendahuluan

          Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) merupakan salah satu inti performance rumah sakit, terkait dengan dinamika dan gerak kebijakan infeksi. Sudah tentu setiap rumah sakit memiliki pedoman, karakteristik, perilaku dan budaya berbeda menyikapi pencegahan dan pengendalian infeksi. Faktor demografi daerah (misalnya area outbreak) dan faktor keterlibatan masyarakat menjadi elemen penting rumah sakit menerapkan kepedulian menjalankan program berkesinambungan ini.

       Pencegahan dan Pengendalian Infeksi tidak semata problematika yang terjadi di rumah sakit, khususnya rumah sakit rujukan, namun memiliki suatu keterkaitan dengan jaring-jaring kesehatan di tingkat komunitas dan rumah sakit level dibawahnya, yang mungkin membawa ‘bom’ waktu saat merujuk untuk mencetuskan penyebaran infeksi.

         Rumah Sakit Rujukan merupakan tingkat tertinggi acuan pelayanan dan garda terdepan untuk mengurai kompleksitas penyakit infeksi. Investasi program pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan prioritas utama. Sebab jika pihak manajemen abai dengan kebijakan dan pedoman pengendalian infeksi, pada tahap tertentu tidak siap jika mendapatkan suatu outbreak infeksi.

Rumah Sakit Rujukan : Kebijakan Pro Aktif Institusional

      Kebijakan proaktif institusional adalah menempatkan rumah sakit sebagai wadah utama dalam menentukan kebijakan pengendalian infeksi berbasiskan kepada mutu dan keselamatan pasien. Kebijakan proaktif menunjukkan  spirit untuk menjalankan gerak lapangan kontrol infeksi sebagai nilai dan kultur pembelajaran. Interaksi yang dibangun adalah, adanya learning by doing yang didukung oleh metode andragogi siklus pendidikan dan pelatihan, dengan umpan balik terhadap kasus dan kompleksitas kejadian infeksi yang terjadi di lapangan.

         Kebijakan bertumpu metoda learning by doing dan andragogi menjadi tantangan tersendiri dalam pencegahan dan pengendalian infeksi. Berbasiskan historisnya, PPI pada awalnya bergerak sebagai kepedulian sekelompok dokter dan perawat terhadap kejadian infeksi nosokomial. Pada saat terjadi outbreak nosokomial, mereka melaksanakan kegiatan survaillans kecil-kecilan dengan metoda empat W (What, Who, When, Where ) dan H (How) terhadap kasus yang terjadi. Pada tahap berikutnya melaksanakan analisis sederhana untuk mengurai penyebab infeksi tersebut.

Kompleksitas penyakit infeksi yang terus berkembang menjadi perhatian manajemen rumah sakit sebagai parameter keberhasilan kebijakannya, tim nosokomial diberdayakan dalam bentuk Tim/Komite PPI. Melalui organisasi PPI yang perumusan kebijakannya dari Kemenkes, keberadaan organisasi ini sudah melejit bahkan menentukan nilai akreditasi rumah sakit, seiring dengan peningkatan sertifikasi SDM, penyediaan fasilitas informasi dan teknologi dan budaya peduli perawat melalui jejaringnya (IPCN), untuk deteksi dan temu cepat kasus dugaan infeksi nosokomial. Proses ini tidak terlepas dari mekanisme pembelajaran yang cukup lama serta pembentukan kesepahaman ‘sehati’ diantara Tim PPI rumah sakit, maklum saat perintisan belum mendapatkan perhatian untuk mendapatkan tunjangan khusus, mengingat sebagai organisasi non struktural. Namun dengan semangat untuk meyakinkan insitusi dengan kegiatan pro aktif, menjadi suatu analisis pimpinan untuk mengambil alih kegiatan ini sebagai suatu kebijakan pro aktif manajemen rumah sakit, sebagai  kegiatan yang harus diikuti setiap lapisan petugas kesehatan yang berkecimpung di rumah sakitnya.

Rumah Sakit Rujukan : Koordinasi dan Leadership PPI

            Rumah Sakit Rujukan melalui pilar kepemimpinannya memerlukan PPI sebagai salah satu penopang utama bergerak dinamisnya alur pelayanan untuk memenuhi status akreditasi. Penopang itu adalah bak penguat perahu yang sedang berlayar diantara terjangan ombak supaya tidak oleng ataupun tenggelam. PPI memiliki potensi dan akses untuk menjaga perahu tetap stabil, yaitu kemampuan dan kapasitasnya mendukung manajemen untuk menurunkan angka kejadian infeksi (zero infection), dengan harapan kualitas pelayanan dan kualitas keluaran pasien yang menjalani rawat inap tanpa infeksi atau kompleksitas infeksi yang terjadi dapat diatasi dengan menajemen PPI yang tepat.

            Tim PPI sebagai salah satu pilar penopang sudah tentu memerlukan organisasi, SDM dan jejaring yang kuat dalam keseharian melaksanakan tugasnya dengan mengembangkan pembelajaran terus menerus dalam koordinasi dan leadership. Koordinasi adalah kebijakan dan mekanisme yang berjalan dinamis melaui upaya pelibatan berbagai unit, elemen dan komponen diantaranya dokter, perawat, unit penunjang medis dan unit penunjang umum lainnya. Koordinasi ini terpartri dalam satu bola yaitu bola salju kesepakatan. Bola salju ini akan terpola secara bertahap membentuk bola yang makin besar, namun stabil, sehingga interaksi kerjasama yang dibangun ditopang oleh sistem yang sudah baku dan stabil.

Beberapa persyaratan yang diperlukan untuk menopang bola salju tersebut tetap kokoh. Pertama : setiap petugas PPI harus memiliki kualifikasi dari segi pendidikan, pelatihan, pengalaman dan sertifikasi dan lisensi. Kedua : Menjadikan suatu proses learning by doing dan grass root communication sebagai spirit dan alat ukur penting di tingkat akar rumput dalam memberdayakan peran IPCN dan IPCLN. Ketiga : Survaillans yang dilakukan menjadi elemen dan dokumentasi yang terdata dengan baik dan menjadi bahan masukkan dari proses PPI berikutnya. Interkolaborasi tersebut merupakan wujud bergeraknya multidisiplin keilmuan untuk memproses kerja lapangan dan selanjutnya dikembangkan dalam satu tautan kebijakan, misalnya dengan melibatkan ahli pengumpulan data, ahli epidemiologi, ahli statistik dan manajer pelayanan. Keempat : Mengembangkan koneksitas dan jejaring keilmuan bidang pencegahan dan pengendalian infeksi, sehingga selalu memiliki informasi ter update.

    Koneksitas dan jejaring merupakan kapasitas untuk mempertahanankan kemampuan profesional sebagai PPI, baik sebagai organisasi maupun petugasnya. Sebab layaknya perahu yang berlayar menghadapi beragam gulungan ombak membutuhkan peralatan perahu yang canggih serta komunikasi yang baik untuk menghimpun data-data yang menghambat gerak perahu, yang kemudian diolah menjadi olahan data yang menggambarkan peta situasi permasalahan untuk dicari solusi dan hasil data dalam rangka peningkatan kemampuan organisasi sebagai problem solver. Dengan demikian, organisasi PPI bukanlah suatu organisasi yang pasif, namun dengan ketangguhan setiap IPCN dan IPCLN mengembangkan jejaring dan alur pengendalian infeksi terhadap pasien yang dirujuk dari rumah sakit lain sejak memasuk unit gawat darurat.

Unit Gawat Darurat adalah mata intelijen pertama PPI mulai bekerja, sebab area ini menampakkan beragam dan bervariasinya problematika klinis pasien dengan berbagai interaksinya (host, komorbid dan lingkungan) serta  penggunaan alat bantu klinis sebagai mekanisme penyebaran penyakit infeksi. Mata intelijen tersebut merupakan pemindai awal skrining stratifikasi, tipe dan faktor resiko infeksi yang mungkin akan terjadi (prediksi) dan faktor pemberatan infeksi yang mungkin terjadi (MODS/Multi Organ Failure) atau juga pasien yang datang dalam kondisi naïve  sebagai faktor proteksi disebabkan tidak didapatkan faktor resiko infeksi misalnya pasien penyakit tidak menular (Stroke dan Jantung). Pasien naïve merupakan tantangan tersendiri bagi PPI, bagaimana menerapkan skema PPI-nya agar dalam perawatan diruangan tidak mendapatkan infeksi rumah sakit.

        Kebijakan PPI untuk menguatkan alur learning by doing dan metode andragogi membutuhkan leadership dan koordinasi sebagai gate keeper untuk menjaga kohesivitas program PPI berjalan dalam rel kereta yang bergerak dinamis. Leadership dan koordinasi ‘bak’bidak catur adanya suatu otoritas dan wewenang dalam menentukan dan menerapkan  PPI melalui perkuatan organisasi (unit pelayanan), perkuatan SDM (IPCN) dan perkuatan tenaga non medis. Konsep leadership dan koordinasi ini untuk tahap selanjutnya akan merangkum dalam satu bola salju yang bergerak menyentuh setiap elemen pelayanan sebagai nilai perilaku dan budaya, bahwa deteksi dan pencegahan infeksi merupakan jargon utama yang perlu ditegakkan sejak dini.

PPI dan Egalitarianisme Program

          Sepertinya egalitarianisme bisa juga ya…diterapkan dalam PPI. Tidak hanya dinamika yang terjadi di masyarakat, gotong royong membawa nilai historis bangsa ini berdaulat hingga saat ini. Egalitarianisme merupakan wujud persepsi, sikap dan perilaku untuk berkomitmen bahwa PPI adalah problematika dan perlu didukung  sebagai sarana dan program kebersamaan. Egalitarianisme mengandung makna suatu fokus program meliputi perencanaan, program untuk menurunkan resiko infeksi, survallains sistematik dan proaktif, perancangan peta geomedik rumah sakit mengantisipasi penyakit menular, kebijakan dan prosedur yang tepat, stratifikasi dan pengurangan resiko serta penentuan lokasi geografis unit pelayanan high risk seperti ICU.

        Egalitarianisme program PPI merupakan suatu spirit dan gerakan budaya dan perilaku untuk membangun perspektif bahwa PPI adalah wujud rumah bersama yang perlu diisi dengan berbagai elemen dan komponen pengendalian infeksi untuk memperkuat tiang-tiang rumah menjadi kokoh dan kuat. Rumah tersebut tidak semata memuat indikator-indikator yang perlu dikaji secara statistik dan diurai sebagai nilai epidemiologis, namun memiliki rumah kaca yang secara transparan senantiasa menampilkan wajah aslinya terhadap komitmen untuk mengawal problematika infeksi, berbasiskan konstekstual hulu dan hilir. Semangat ini menjadi acuan utama setiap IPCN dan IPCLN untuk menguatkan mata intelijennya  dalam melaksanakan setiap suvaillans. Istilah survaillans sistimatik yang mengemuka adalah kemampuan menjembatani beberapa indikator stratifikasi dan faktor risiko pada unit-unit khusus misalnya di ICU.

Beberapa indikator yang perlu menjadi nilai perencanaan diantaranya : (1)  Pemasangan ventilator pada infeksi paru misalnya prosedur dan peralatan yang berkaitan dengan intubasi,trakeostomi. (2) Pemasangan kateter pada infeksi saluran kemih terkait dengan prosedur dan perawatan invasif, sistem drainase urin dan perawatannya. (3) Pemasangan drain pada penanganan bedah serta perawatan, jenis balutan dan prosedur aseptik. (4) Pemasangan infus terhadap kemungkinan terjadinya infeksi aliran darah terkait dengan kateter vena sentral dan infus perifer. (5) Penyakit dan organisme yang signifikan secara epidemiologis – organisme yang resisten terhadap banyak jenis obat dan kecenderungan adanya infeksi yang sangat berbahaya. (6) Infeksi yang timbul atau timbul kembali dari masyarakat (komunitas).

Khususnya untuk pasien di ruang perawatan, perencanaan ditujukan untuk mendeteksi pasien-pasien dengan kondisi komorbid dan imunocompromais yang mengalami infeksi baru, ataupun pola pengelolaan yang belum optimal. Salah satu contoh adalah pasien-pasien dengan keganasan memiliki kerentanan untuk terkena  suatu infeksi, bahkan infeksi jamur. Pola pengembangan survaillans sistimatik lainnya adalah merambah kepada unit-unit penunjang lainnya seperti unit gizi, sejauh mana pola diet gizi rumah sakit bersinergi menopang upaya perbaikan kesehatan pasien, unit laundry, sejauh mana menjadi potret kebersihan dalam perawatan pasien dan sterilitas alat untuk tindakan operasi, termasuk unit penunjang khusus sejauh mana sistem limbah mengalirkan keamanan untuk tidak terjadinya suatu penyebaran infeksi dari limbah yang infeksius.

Perluasan objektivitas peran PPI dalam konteks komunitas adalah menjadi pengawas dan penjaga dalam perencanaan dan pelaksanakan renovasi bangunan melalui ICRA bangunan. ICRA bangunan merupakan salah satu pilar untuk terciptanya kondisi lingkungan kerja rumah sakit terjaga dari penyebaran infeksi, disisi lain monitoring kaidah-kaidah bangunan mengikuti kontrol infeksi yang baik. Salah satu contoh adalah ruangan dengan tekanan positif dan tekanan negatif terhadap sirkulasi udara dan mereduksi kontaminasi bakteri.

      Prinsip egalitarianisme PPI prinsipnya spirit kebersamaan yang mewujud sebagai interaksi dan kolaborasi menautkan target pengendalian infeksi yang menjejakkan setiap unit pelayanan sebagai satu rantai kesepahaman.

Kohesivitas ICRA Rumah Sakit  – Komunitas

    PPI di rumah sakit merupakan fenomena hilir sejumlah problematika yang muncul yaitu interaksi dan kohesi yang intensif diantara kerangka agent-host dan lingkungan. Kerangka tersebut menguak dimensi inheren dan koheren diantaranya : (1) Kondisi komorbid imunokompromais sebagai elemen host yang pada tahap lanjut menjadi nilai pemberatan. (2) Virulensi dan penyebaran kuman memiliki dua potensi yaitu terjadinya outbreak dan resistensi bakteri. (3) Lingkungan sebagai media interaksi host dan agent, sejauh mana menyemai pola penyebaran melalui udara baik droplet maupun airborne , dan dalam kurun waktu tertentu dapat menyebabkan sebaran yang luas. Lingkungan akan menjembatani kerentanan host berupa kolonisasi dan meningkatnya aktivasi inflamasi berdampak disfungsi sistem imun terhadap daya juang patogenitas dan internalisasi infeksi untuk terjadinya bakteriemia dan disfungsi endotel.

    Pengendalian infeksi di komunitas merupakan fenomena hulu terkait dengan dinamika lingkungan dan abnormalitas fenomena alam, sebagai faktor penyebab berkembangnya penyakit infeksi. Problematika komunitas tidak semata melibatkan unsur manusia, berbagai elemen lain misalnya di bidang kedokteran hewan, pertanian, peternakan dalam baju kesehatan masyarakat merupakan faktor yang berperan terjadinya infeksi di tingkat komunitas. Salah satu contoh adalah meningkatnya resistensi antibiotik, tidak bisa dilepaskan dengan penggungan yang berlebihan di bidang peternakan, demikian pula terjadinya outbreak flu burung, merupakan efek yang terkait dengna pengendalian infeksi tingkat komunitas.

      Kohesivitas ICRA dan komunitas merujuk kepada koneksitas sosial yang melibatkan partisipasi masyarakat (grass root) dalam pengendalian infeksi. Proses ini melingkupi fase awal, proses diseminasi dan rehabilitasi. Pendekatan tersebut memuat kohesi sosial pemberdayaan masyarakat dalam edukasi, komunikasi dan pencegahan infeksi. ICRA komunitas dalam konteks ini menjadi alat ukur pengendalian infeksi di masyarakat, sejauh mana masyarakat memiliki kepedulian dan bertanggung jawab menjaga lingkungannya sebagai wahana untuk memagai penyebaran infeksi dan outbreak.

      Pendekatan koneksitas diantara rumah sakit dan komunitas, ICRA menjadi jembatan yang mengkait berbagai dimensi interkoneksitas yaitu peran sintesis, solutif dan sektoral terhadap penyebaran infeksi diantara dua ruang tersebut. Peran sintesis jembatan ICRA berkemampuan menyatukan postulat manajemen infeksi sebagai satu keterpaduan yang terintegrasi. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah sinergitas kasus outbreak yang disimulasikan dalam bentuk jejaring pelayanan dan rujukan dari titik awal lokasi infeksi, deteksi dini, isolasi area, rantai evakuasi ke rumah sakit lapangan sampai ke rumah sakit rujukan tertinggi. Peran solutif ICRA adalah kemampuan menerapkan perencanaan dan SOP pengelolaan kasus outbreak pada titik akhir rantai evakuasi melalui beberapa tahap yaitu stratifikasi resiko, diagnosis, pelayanan intensif infeksi dan monitoring – evaluasi. Salah satu contoh yang sudah dilaksanakan adalah pengelolaan kasus flu burung dengan keluaran morbiditas dan mortalitas. Peran sektoral jembatan ICRA merekatkan berbagai epidemiologi, klinik, ketetapan diagnosis dan prediksi paska perawatan. Kohesitas yang dibangun adalah kesepahaman tali-temali berbagai unsur kerjasama sejak rantai evakuasi sampai dengan pengelolaan di rumah sakit berbasiskan uji latihan dan uji bukti.

      ICRA sebagai jembatan diantara rumah sakit dan komunitas memiliki peran yang penting, terutama dalam merangkum berbagai problematika bidang infeksi yang timbul, diwadahi dalam satu sistem penampungan big data dan driven data sinergitas pengendalian infeksi. Data yang terkumpul dan tervalidasi menjadi data bergerak dalam lingkup pelayanan medis keseharian, dan terkoneksi dengan kondisi epidemiologi penyakit infeksi yang terjadi di tingkat komunitas. Kekuatan data dan kesahihannya menampilkan potret faktual kesenjangan yang terjadi diantara rumah sakit dan komunitas. Potret faktual tersebut kemudian dirangkum menjadi intervensi elemen-elemen pengendalian infeksi (kebijakan dan SOP) untuk memperbaiki dan menajamkan kedua sinergitas tersebut. Dengan demikian, ICRA sinergitas mengembangkan sistem multi sektoral, mengandung makna pengendalian infeksi tidak hanya menuntut tanggung jawab klinis rumah sakit, namun terdapat jalinan kerja dengan epidemiologi kesehatan masyarakat untuk menautkan dua kepentingan, yaitu jembatan ICRA klinis dan komunitas.

Pola berikutnya adalah bagaimana keduanya kemudian merangkak kepada peran multi solutif, yaitu kemampuan meningkatkan kapasitas keilmuan dan ketrampilan lapangan dalam memecahkan masalah yang timbul secara terintegrasi, misalnya terjadinya suatu outbreak MRSA di suatu rumah sakit rujukan, dikembangkan pola yang terkait dengan kemungkinan adanya MRSA tingkat komunitas. Pola akhir dari tercapainya tujuan sinergitas ICRA adalah komitmen untuk duduk bersama dan saling memberikan kapasitas keilmuannya untuk menerapkan konsep-konsep perbaikan dan peningkatan sinergitas ICRA sebagai fungsi multisintesa. Kebijakan, Panduan dan SOP yang disepakati sudah memagari bagaimana menindaklanjuti tindakan prevensi dari suatu kejadian infeksi berpotensi outbreak.

      ICRA akan berfungsi maksimal jika terdapat kesetaraan sinergitas diantara klinis dan komunitas. Kesetaraan tersebut merupakan irisan potensi bersama yang dapat dikembangkan untuk fungsi multisektoral, multisolutif dan multi sintesis, namun dengan kompetensi masing masing (klinis dan epidemiolog) senantiasa mengupayakan mengembangkan kreativitas keilmuan baru sebagai modelling kebijakan dan manajemen terhadap sinergitas ICRA.

       Pemberdayaan Sinergitas ICRA merupakan upaya memperkuat jejaring berbagai elemen yang terlibat untuk menjembatani nilai idealitas konsep infeksi dasar dengan kompleksitas lapangan menjadi suatu realitas akar rumput beratnya kondisi infeksi atau sepsis berat  berbasiskan alat ukur Sequential Organ Failure Assessment (SOFA Score) sebagai suatu rangkuman dan konsep manajemen berkelanjutan. Pengembangan konsep ICRA klinis dan epidemiologis menjadi jembatan Sustanaibility Development Community ICRA sebagai tulang punggung pemberdayaan organisasi, penguatan partisipasi dan kultur pembelajaran inovasi yang memuat sistem kerja ICRA. Kultur pembelajaran inovasi menjadi alat ukur ICRA yang kemudian divalidasi  menjadi suatu realibilitas di lapangan.

      Pemberdayaan ICRA sebagai interkoneksitas melalui suatu program edukasi kesehatan yang berorientasi kepada community oriented base health memuat perencanaan, penerapan peran baru bidang ICRA  secara efektif  berfungsi sebagai transformation of severity infection in society. Salah satu aspek yang dapat dikembangkan dalam pemberdayaan komunitas ICRA adalah meliputi : (1)  Pemahaman pola  penyakit, (2) Pengembangan budaya ICRA sebagai jejaring pengendalian infeksi dan (3) Kesehatan lingkungan sebagai elemen penyangga stratifikasi penyebaran infeksi.

      Pola analisis ICRA dalam potret outbreak bertitiktolak kepada kecepatan dan ketepatan deteksi dini pola reduksi estimasi penanganan awal di lapangan, alat diagnostik terintegrasi dan rantai evakuasi yang sistimatis. Reduksi kontaminasi lingkungan sebagai penyangga penyebaran dan pembentukan sterilitas area  yang saling terkait merupakan aspek pemantauan resiko dan pemulihan. Pola ICRA ini memerlukan suatu SDM yang terlatih untuk memberdayakan lingkungan sebagai area clearance penyebaran infeksi ke kotak epicenter yang lebih luas. Dampak yang diharapkan terciptanya model penilaian sejak inkubasi penyakit dan efek infeksi komunitas pada area lingkungan,  dengan melaksanakan verifikasi dan validasi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang berdampak konklusi pemetaan penyakit outbreak berikutnya.

Kesimpulan

      Konsep Pencegahan dan Pengendalian Infeksi merupakan nilai historis yang membuka kotak pandora kebijakan berbasiskan akreditasi rumah sakit. Interkolaborasi, Interkoneksitas dan Sinergitas ICRA dan Komunitas merupakan jembatan yang menguatkan tali-temali peran, fungsi dan inovasi menggerakkan keterpaduan PPI untuk tingkat rumah sakit dan komunitas (outbreak).

Dr.dr. Soroy Lardo, SpPD FINASIM. Kepala Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto. Doktor Lulusan Universitas Gadjah Mada.

Kepustakaan

JCI Standar Akreditasi Rumah Sakit, 2011

Standar Akreditasi Rumah Sakit : Komite Akreditasi Nasional, 2017

Cruicshank M & Ferguson J (eds) Reducing Harm to patients from Health care Associated Infection : The Role of Survaillance. Australian Commission for Safety and Quality in Health care.p3

Friedman C, Newson W. Basic Concepts Of Infection Control. International  Federation Of Infection Control.2007

Lardo S, Prasetyo B, Purwaamidjaja B. Infection Control Risk Assessment (ICRA).

CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016

 

Bagikan