Interkoneksi, Key Performance Index dan Case Base Reason

oleh:

Soroy Lardo

Pendahuluan

                Dimensi rumah sakit terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak, mengungkap ‘bak’ tubuh manusia yang terdiri dari fisik dan jiwa. Tubuh kita sedemikian sempurna diciptakanNya dengan peralatan canggih organ fungsional paripurna dan memiliki peran berbeda dalam  mengoperasionalkan sirkulasi tubuh untuk tetap bertahan hidup pada jalurNya. Tubuh menampilkan suatu gambaran sempurna input – process – outcome, bergalurnya mekanisme ilahiah mengatur perangkat anatomi dan fisiologi untuk mengelola manajemen dan keamanan fasilitas, melalui patogenesis dan patofisiologi, didukung oleh mekanisme dan enzimatik tanpa batas.

                Rumah Sakit memiliki kemiripan, organisasi pelayanan dengan tubuh yang kuat berperan untuk menyediakan fasilitas yang aman, fungsional dan suportif bagi pasien, keluarga, staf dan pengunjung. Struktural rumah sakit menggerakkan rongga-rongga anatomi kokoh-nya sebagai penopang alur dan sirkulasi pelayanan berorientasi kepada upaya mengurangi dan mengendalikan  bahaya dan resiko, mencegah kecelakaan dan cedera dan memelihara kondisi yang aman. Sedangkan fungsional rumah sakit, mendayagunakan energi biokimia rumah sakit untuk memproses siklus energi mengalirkan peran protektif, prediktif dan warning sign sistem pelayanan yang berlangsung, terhadap fungsi keselamatan bangunan, bahan berbahaya, manajemen keadaan darurat, penanganan kebakaran, peralatan medis dan sistem utilitas.

Fasilitas Berbasis Perencanaan

         Fasilitas rumah sakit merupakan komponen utama untuk menggerakkan energi pelayanan keseharian. Fasilitas tersebut terdiri dari fisik dan pendukung. Fasilitas yang ada dalam perencanaan haruslah dalam satu koridor undang-undang, peraturan dan persyaratan dan merupakan tanggung jawab pimpinan rumah sakit. Perencanaan dan pengembangan fasilitas beritik tolak dari rencana garis besar dan blue print yang memiliki kontinuitas. Beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian dari pimpinan rumah sakit adalah ;1) Undang-undang nasional dan lokal dan peraturan yang berlaku bagi fasilitas rumah sakit;2) Menerapkan persyaratan alternatif yang disetujui dan;3) Membuat rencana anggaran untuk memenuhi persyaratan perencanaan dan pengembangan. Dengan demikian, pimpinan rumah sakit bertanggung jawab terhadap aspek kebijakan, mengingat peningkatan kemampuan fasilitas fisik akan berjalan sesuai dengan tantangan lokal dan global kompleksitas pelayanan yang dihadapi.

         Perencanaan fasilitas rumah sakit tidak terlepas dari prinsip keselamatan pasien, dalam arti semua fasilitas yang tersedia termaktub monitoring dan evaluasi faktor resiko yang mungkin timbul. Penilaian faktor resiko menjadi alat ukur sejauh mana perlindungan terhadap kerugian, kerusakan dan gangguan atau akses oleh pihak yang tidak berkenan. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian utama diantaranya ;1) Bahan berbahaya – pengendalian, penanganan, penyimpanan, dan penggunaan bahan radioaktif dan limbah berbahaya ditangani secara aman;2) Keadaan Darurat – Respon pada wabah, bencana dan keadaan darurat direncanakan dan berjalan efektif;3) Penanganan kebakaran – properti dan para penghuni dilindungi dari bahaya kebakaran dan asap;4) Peralatan medis – Peralatan dipilih, dipelihara dan digunakan sedemikian rupa dengan cara untuk mengurangi resiko dan 5) Sistem utilitas- listrik, air dan sistem utilitas lainnya dipelihara untuk mengurangi resiko kegagalan operasi.

Komando Terintegrasi

             Manajemen Keamanan Fasilitas (MKF) rumah sakit menjadi simbol yang menampilkan suatu wujud rumah tangga yang kuat. Rumah tangga yang kuat adalah memiliki fisik rumah yang tertata keamanannya, diisi dengan berbagai perangkatnya. Rumah tangga yang aman adalah yang menyemai kekokohan tiang-tiang rumah menopang kekuatan fondasinya dengan keteguhan dan konsistensi.

           Rumah Sakit dalam konsep idealitas MKF diibaratkan sebagai satuan komando yang berada dibawah satu kepemimpinan ‘komandan’ kepala rumah sakit. Sebagai komandan tentunya tidak hanya dibutuhkan kemampuan manajerial, namun sikap, pola pikir dan olah tindak berperspektif intelijen penataan bangunan dan sistem yang mendukungnya, menjadi prioritas utama. Istilah kerennya suatu komando yang terintegrasi.

          Komando terintegrasi mengurai dua sistem jejaring organisasi yaitu manajemen jejaring fasilitas dan manajemen risiko fasilitas. Manajemen jejaring fasilitas menjadi tantangan tersendiri kepala rumah sakit, mengingat setiap pimpinan rumah sakit yang ditunjuk (terutama rumah sakit rujukan pemerintah) menghadapi kondisi fasilitas fisik yang berbeda, bahkan mungkin tidak tertata baik,mengingat perencanaan sebelumnya kurang mengantisipasi trend perkembangan rumah sakit, terutama di era digital. Perangkat penataan bangunan menjadi titik krusial yang perlu dibenahi terutama adalah terorganisirnya diantara sistem perkantoran, sistem rawat jalan, sistem rawat inap (ICU) dan unit-unit penunjang sebagai satu bagian yang terintegrasi. Tidak mudah untuk menatanya, tergantung dari kondisi faktual di lapangan. Pola pikir manajemen adalah menguak   SWOT (Strength, Weakness, Oportunity dan Threaten) dianalisis berbasis kaidah keilmuan penataan bangunan dan dikembangkan dalam bentuk SOP, pedoman dan operasional penataan bangunan. Misalnya, sudah tepatkah setiap departemen keilmuan bedah memiliki fasilitas kamar operasi dibandingkan sentralisasi atau sesuaikan lokasi unit perawatan hemodialisis berada di lantai atas rumah sakit, mengingat kondisi usia pasien yang sudah lanjut.

        Manajemen risiko fasilitas adalah pendayagunaan potensi lingkungan (fisik dan kerja) sebagai sarana monitoring dan evaluasi risiko yang dapat terjadi dalam operasional pelayanan. Manajemen risiko memerlukan tanggung jawab personil yang sangat menguasai keahlian yang bergerak dibidang prediktif dan protektif. Pengelolaannya harus efektif dan dilakukan secara konsisten. Manajemen risiko fasilitas memiliki tugas melaksanakan pengawasan yang meliputi;1) Perencanaan semua aspek program;2) Pelaksanaan program;3) Pengujian dan pemantauan program;4) Edukasi staf;5) Penilaian dan revisi program secara berkala;6) Penyerahaan laporan tahunan kepada badan pemerintahan mengenai efektifitas program;7) Pengorganisasian dan pengelolaan yang konsisten dan terus-menerus.

MKF dan Early Warning System Disaster

           Rumah Sakit Rujukan dalam gerak dinamisnya menganut pola deteksi dini dan tanggap tepat. Potensi setiap unit disiapkan untuk menghadapi kemungkinan kejadian luar biasa (KLB). Perangkat tersebut terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras adalah keterpaduan struktur fisik bangunan yang memiliki alur dalam dalam sistem diagnostik, terapeutik dan tindak lanjut penatalaksanan, jika memerlukan perawatan intensif. Alur yang berjalan menjadi alat ukur (time line) langkah-langkah pelayanan berbasiskan optimasi yang sudah ditentukan. Perangkat lunak adalah SOP dan Clinical Pathway yang menghantarkan pasien mengikuti pola penanganan yang sudah sesuai dengan masing-masing kasus yang berkembang.

           Perangkat berikutnya adalah early warning system memuat nilai kepekaan mengantisipasi kasus-kasus darurat yang dapat berkembang menjadi berat. Early warning sistem merupakan nilai kritis yang ditampilkan dalam bentuk data klinik yang berkorelasi dengan prediksi kemungkinan memberatnya pasien. Untuk memiliki kesepahaman terhadap hal tersebut, setiap dokter di UGD memerlukan kepekaan mendalam terkait interaksi host dan agent dengan kemungkinan menjadi beratnya penyakit.

         Kesiapan manajemen fasilitas rumah sakit rujukan mencakup kemampuan penyiapan infrastruktur dengan melibatkan interaksi berbagai elemen/unit rumah sakit sebagai jejaring yang akan berperan terhadap suatu kejadian bencana. Keterlibatan berbagai elemen yang terlibat merujuk kepada kondisi karakteristik situasional dan dimensional bencana yang terjadi. Suatu bencana diakibatkan ketidakseimbangan ekosistem, misalnya terkontaminasinya sistem sanitasi yang berperan sebagai suplai air, berpotensi untuk merebaknya kejadian diare. Menghadapi kondisi demikian, rumah sakit harus menyiapkan fasilitas yang memungkinkan untuk menghadapi kejadian diare massal, jika tidak dikelola dengan tepat dapat memunculkan kematian. Sudah tentu rumah sakit rujukan yang perencanaannya sudah disiapkan untuk menghadapi bencana/ berkarakteristik daerah geomedik bencana, fasilitas dikembangkan mencakup unit-unit dan SDM yang disiapkan untuk menghadapi kondisi bencana.

          Mengkaji uraian diatas menunjukkan kebijakan MKF mencakup aktivitas regular rumah sakit dengan sistem yang sudah berjalan dan tertata baik dan aktivitas non regular atau KLB dengan pola pendekatan berbeda dikaitkan dukungan dan penguatan fasilitas yang dapat digerakkan dalam keadaan darurat. Dengan demikian, MKF dalam kondisi KLB menjadi bagian yang melekat dengan pola penanganan emergensi rumah sakit. MKF harus memiliki kejelian untuk mencadangkan, menyiapkan, memasok dan mendistribusikan fasilitas pendukung berkaitan dengan sistem pelayanan dan sistem organisasi terintegrasi dengan SDM dan jaringan pelayanannya. MKF dalam gerak di unit gawat darurat berkemampuan mendata dan memetakan untuk mendukung peran multisintesis rumah sakit rujukan sejak identifikasi dan verifikasi kasus yang masuk dengan problematika berbeda. MKF dengan ketajaman penglihatannya tidak sekedar mendukung aspek pelayanan namun mengembangkan lebih jauh mendukung penyediaan sarana berkembangnya pola multisolutif pendidikan di UGD, kasus-kasus yang masuk (unik dan kompleks) menjadi alur transfer keilmuan diantara dokter jaga (umum dan spesialis) kepada dokter muda, sehingga target pendidikan yang berbasiskan lapangan mendekati target yang sudah ditetapkan.

      Peran kesetaraan emergensi adalah kemampuan rumah sakit menonjolkan wajah untuk senantiasa memiliki kesiapan menghadapi keadaan gawat darurat, baik secara individual dan komunitas. Menghadapi kedua hal tersebut rumah sakit rujukan mewujudkan perangkat keras dan perangkat lunak yang dimiliki sebagai proses bergulir berdasarkan SOP. Hal yang menonjol adalah jika menghadap suatu KLB komunitas memerlukan perangkat yang lebih rumit terkait dengan kompetensi SDM, jaringan kerja, fasilitas pelayanan untuk mendukung diagnosis yang tepat dan mengurangi kondisi environmental error. Menghadapi kondisi tersebut, suatu kajian yang mendalam dan komprehensif terkait dengan peta dukungan logistik fasilitas MKF sejak masuk UGD sampai dengan perawatan di rumah sakit, bahkan dengan output meninggal ataupun menjalani rawat jalan menjadi catatan sistematika dukungan MKF.

MKF dan Interkoneksitas Rumah Sakit

        Interkoneksitas MKF adalah kemampuan dan kompetensi rumah sakit mengembangkan sumber daya terhadap potensi fasilitas keamanannya sebagai suatu keterpaduan jejaring (networking), sehingga memiliki kapasitas dalam menentukan risk assessment integrasi pelayanan terutama menghadapi KLB. Interkoneksitas tersebut memuat suatu analisis, dampak, kecepatan dan ketepatan pengambilan keputusan, mengendalikan kontaminasi lingkungan dan menajamkan kapasitas rujukan. Pola yang dapat dikembangkan dalam interkoneksitas adalah;1) Manajemen Kinerja Fasilitas;2) Manajemen Keamanan Fasilitas Lingkup Lapangan dan 3) Manajemen Komunitas Fasilitas.

      Manajemen Kinerja Fasilitas merupakan tema sentral dalam proses dan mekanisme kerja pengembangan model MKF yang mungkin berbeda untuk setiap rumah sakit. Strata rumah sakit (regional dan rujukan) tentunya memiliki ‘ciri khas’ dalam mengelola kompleksitas yang dimiliki. Manajemen kinerja fasilitas adalah memetakan dan melihat sejauh mana optimalisasi perawatan dapat berjalan secara konsisten. Konsistensi tersebut memerlukan keterpaduan manajemen yang terkait dengan pemeliharaan, risiko, layanan pasokan dan pengembangan. Domain inti bergerak dalam keseharian, terintegrasi dengan teknologi informasi dan komunikasi, ruang lingkungan untuk pengambilan keputusan yang tidak konvenional bahkan out the box. Melalui manajemen kinerja fasilitas, spirit yang dibangun adalah nilai konsistensi berdampak kepada output target pelayanan maksimal.

    Manajemen Keamanan Fasilitas lingkup lapangan adalah memetakan secara terkotak dan terinci setiap elemen / unit pelayanan memiliki penyangga keamanan dengan kemampuan preventif, protektif dan prediktif. Untuk mendapatkan suatu data yang maksimal, fasilitas keamanan lingkup lapangan, berkewajiban menjalankan survaillans secara periodik sehingga pengumpulan data yang terkumpul dapat dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Masalah keamanan yang perlu menjadi prioritas adalah masalah keamanan umum dan masalah keamanan khusus. Masalah keamanan umum adalah kasus pencurian dan tindakan kekerasan. Masalah keamanan khusus adalah pengamanan aset rumah sakit, khususnya alat diagnostik dari intervensi fisik maupun non fisik (digital). Pengamanan khusus tidak hanya kepada alat, namun pemantauan SDM dan proses belajar-mengajar yang melibatkan berbagai strata pendidikan, menjadi salah satu fokus utama dalam kerangka rumah sakit pendidikan. Upaya tersebut menunjukkan bahwa bagian keamanan rumah sakit tidak hanya berperan dalam pengamanan fisik, tetapi mengembangkan diri sebagai suatu sistem organisasi bersiklus kepada pendidikan, pelatihan dan manajemen keamanan yang diawasi oleh komite keamanan rumah sakit.

           Manajemen Komunitas Fasilitas adalah perspektif pendayagunaan fasilitas rumah sakit berbasiskan kepada kebutuhan layanan masyarakat. Rumah sakit rujukan dalam fungsionalnya mengembangkan asas rujukan dan pola asuhan dengan jaringan pelayanan kesehatan strata dibawahnya yaitu rumah sakit dan jaringan klinik masyarakat. Manajemen komunitas ini bertitik tolak kepada pemetaan geografi (geomedik) klinik-klinik disekitar rumah sakit, nilai keunggulan dan kelemahan, kekuatan SDM dan jejaring rujukan. Salah satu yang mengemuka adalah sejauhmana manajemen ini berbaur dengan akselerasi gambaran pelayanan kesehatan realitas di tingkat akar rumput menyatu dalam sistem terintegrasi pelayanan yang berorientasi kepada prioritas kebutuhan masyarakat. Misalnya tingkat pemetaan penduduk di area tersebut adalah kelompok geriatri dengan variasi penyakit komorbid. Manajemen komunitas rumah sakit berperan merencanakan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi efektifitas keamanan fasilitas komunitas yang diberikan rumah sakit dengan tingkat keberhasilan pengobatan pada geriatri.

MFK dan Manajemen Penilaian Risiko

          Manajemen penilaian risiko merupakan salah satu ujung tombak keberhasilan MKF menata dan memelihara konsistensi pelayanannya di rumah sakit. Manajemen penilaian resiko bertumpu kepada perspektif hulu yaitu suatu conceptual meaning yang dibangun sebagai kajian dan program preventif dan prediktif. Pola pikir manajemen risiko bekerja setelah terpaparnya suatu kejadian harus di set-up dalam kontekstual kerangka berpikir termaktubnya kemampuan mengurai dan memilah faktor risiko dengan alternatif sintesa dan solusinya.

           Manajemen risiko (Donovan 1997) adalah kemampuan organisasi (rumah sakit) mengadopsi pendekatan proaktif untuk pengelolaan ketidakpastian di masa depan, metode identifikasi penanganan risiko yang dapat membahayakan personel, properti, sumber daya keuangan dan kredibilitas. Kegiatan manajemen risiko ditujukan untuk mengidentifikasi bahaya aktual atau potensial yang terpapar pada keselamatan pasien dan staf dan secara efektif mengurangi bahaya tersebut. Manajemen risiko haruslah menjadi prioritas utama pimpinan rumah sakit, terutama manajer MKF terhadap risiko ketidakpastian bisnis yang mengancam aset perawatan kesehatan, dalam kurun waktu berikutnya dapat mengurangi tingkat kepercayaan terhadap rumah sakit. Terdapat tujuh faktor yang perlu menjadi perhatian dalam manajemen risiko layanan kesehatan rumah sakit yaitu ;1) Layanan pelanggan; 2) Risiko transfer bisnis;3) Risiko hukum;4) Risiko yang ditransmisikan oleh fasilitas;5) Risiko perusahaan;6) Risiko komersial;7) Risiko keuangan dan ekonomi.

       Tantangan dan problematika yang dihadapi oleh MKF adalah kurangnya memadainya peralatan dan kontrol keamanan, disebabkan kurangnya aspek pendanaan terhadap investigasi kejahatan dan tindakan mitigasi. Kondisi faktual yang terjadi gangguan keamaan dilaporkan setelah adanya kejadian dalam beberapa situasi dan kondisi menunjukkan adanya kegagalan manajer rumah sakit dalam pelaporan dan monitoring. Kondisi ini akan diperberat jika tidak adanya suatu perspektif pimpinan rumah sakit dalam pemberdayaan MKF sebagai alat keamanan rumah sakit utama.

       Pengelolaan keamanan perawatan kesehatan di rumah sakit memerlukan spesifikasi tersendiri, berbeda dengan keamanan pada umumnya. Memerlukan suatu efisiensi dan efektifitas terkait dengan pola keamanan dan pendayagunaan SDM. Beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian ketersediaan sistem input alat keamanan, peralatan keamanan modern, infrastruktur dan personil keamanan. Menurut Asosiasi Rumah Sakit New Jersey (2004) terdapat Sembilan aspek yang perlu disiapkan untuk rumah sakit di negara berkembang yaitu ;1) Mengatasi masalah keamanan terkait pasien, pengunjung, personel dan properti ;2) Melaporkan dan menyelidiki semua insiden keamanan yang melibatkan pasien, pengunjung, personel dan properti;3) Memberikan identifikasi yang sesuai untuk pengunjung, pasien dan staf;4) Mengontrol akses dan keluar dari area sensitif;5) Kepemimpinan rumah sakit yang telah menunjuk orang yang bertanggung jawab untuk memantau keamanan;6) Prosedur keamanan darurat yang menangani masalah keamanan;7) Menyediakan akses kendaraan ke area perawatan darurat;8) Memiliki orientasi keamanan dan program pendidikan untuk staf rumah sakit;9) Pemantauan kinerja berkelanjutan dari aktual atau risiko keamanan potensial. Untuk mencapai target tersebut perlu dilengkapi berbagai elemen kebutuhan MKF secara kelembagaan terhadap personil keamanan untuk melakukan pertemuan keamanan internal rutin, merekrut personel keamanan yang terlatih, patroli bersama antara personel keamanan rumah sakit dan polisi (jika diperlukan), sebagai langkah mitigasi selain penggunaan efektif sumber daya yang tersedia dan mempromosikan kebijakan setiap pengunjung untuk menjadi penjaga keamanan.

        Mengkaji uraian diatas dan semakin kompeksnya tantangan dalam pengelolaan MKF, menjadi suatu keniscayaan tim MKF harus dikembangkan secara profesional dan bergerak dalam tataran yang terintegrasi. Selain SDM yang mumpuni, kemampuan terintegrasi dalam penerapan manajemen risiko yaitu dalam integrase rekayasa nilai (taktik) dan manajemen nilai (strategis) merupakan penerapan kematangan MKF dalam mengatasi permasalahan dengan cepat dan tepat.

MKF dan Key Performance Index (KPI)

       Manajemen Keamanan Fasilitas adalah ruang terbuka dengan lantai yang menghampar dan tiang-tiang kokoh menguatkan bangunannya. Suatu bangunan yang kuat mencirikan adanya suatu parameter yang menjadi indikator terjaganya fasilitas dengan parameter yang terukur. Paramater terukur tersebut dapat berupa suatu nilai, tataran kebijakan, spirit motivasi dan kreativitas untuk menciptakan inovasi baru. MKF tidaklah mungkin hanya bertopang kepada kekokohan menaranya saja, namun geraknya memerlukan suatu langkah dinamis, tidak hanya di bidang formalitas, namun ruh-nya berkembang menjangkau setiap sudut pelayanan di rumah sakit. Seperti yang dikemukakan diatas sebelumnya, jika dianalogikan MKF sebagai tubuh yang kuat, distribusi energinya memerlukan suatu asupan asupan, hormon dan vitamin yang berkemampuan mengkatalis tubuh untuk berjalan tegak dan berani mengambil keputusan.

        Salah satu kekuatan pola pengembangan terhadap hal tersebut adalalah Key Performance Index (KPI). KPI adalah suatu alat ukur (varian pengukuran) untuk monitoring berbagai aspek fasilitas kesehatan. Pullen et. Al (2000) mengembangkan suatu alat yang dapat berkontribusi untuk memberikan solusi terhadap kompleksitas fasilitas di rumah sakit. Identifikasi tersebut mencakup faktor-faktor prinsipal yang memuat tentang performance rumah sakit seperti luas bangunan rumah sakit, daya tampung, nilai aset, pendapatan dan biaya operasional. Faktor-faktor tersebut merupakan inti dari tujuh pengembangan KPI.  Berkaca terhadap indikator tersebut, diharapkan dapat melingkupi tidak hanya internal rumah sakit, namun terhadap kebutuhan sektor publik, walaupun tidak bernilai keuntungan. Lebih lanjut Shohet (2003) mengungkapkan metodologi yang berkembang dari MKF tidak hanya KPI – ansich, namun meluaskan perannya selain pemeliharaan fasilitas bangunan dengan mengintegrasikan indikator dengan monitoring dan benchmarking of building performance yaitu Building Performance Indicator (BPI). Beberapa aspek terkait dengan BPI diantaranya konsistensi pemeliharaan pelayanan, Efisiensi pemeliharaan dan efektivitas organisasi.

       Beberapa aspek utama dari BPI adalah membangun sistem berbasiskan skala performance. Perhitungan dilakukan berdasarkan 100 indikator berdasarkan kepada siklus pembiayaan dari setiap fasilitas (life cycle cost) sebagai implementasi ke empat indikator yang sudah disebutkan sebelumnya.Hal yang perlu menjadi perhatian adalah sejauh mana validasi dari indikator tersebut dapat meningkatkan performance, risiko dan manajemen operasional fasilitas pelayanan. Beberapa tantangan terhadap peningkatan jejaring pelayanan, distribusi fasilitas dan pemeliharaan fasilitas pelayanan menuntut biaya yang tinggi. Kondisi demikian menjadi kendala dalam penentuan biaya operasional rumah sakit. Beberapa aspek yang perlu menjadi panutan adalah melakukan kontinuitas pemeliharaan fasilitas kebutuhan objektif dan kompetensi pelayanan. Beberapa aspek yang dapat menurunkan biaya tersebut adalah mengimplementasikan beberapa aspek yaitu ;1) Analisis benchmarking internal (determining what to outsource);2) Analisis benchmarking eksternal (selecting the outsource service provider);3) Negosiasi kontrak (formalising relationship between the organization and the outsourcer) dan 4) management outsourcing (during the term contract). Keempat hal diatas adalah model yang dapat diimpelementasikan secara efisien jika terdapat rincian detail pekerjaan yang dilakukan dan pemantauan prosedur kerja yang ketat sebagai strategi dalam mengembangkan daya serap, daya muat dan daya potensi pemeliharaan rumah sakit. Ketersediaan SDM yang handal akan menyeimbangkan penguatan berbagai daya dan manajemen koreksi.

MKF dan Digitalisasi Informasi

       Mungkin belum banyak rumah sakit yang sudah “sadar diri” bahwa digitalisasi informasi merupakan kebutuhan penting kekuatan dan kekokohannya di masa depan. Digitalisasi rumah sakit tidak sekedar paperless namun memuat beragam potensi media informasi dan komunikasi yang dijalankan fasilitas pelayanan dalam satu jalur pola digital. Pola digital sudah tentu akan merekam berbagai konsep kerja, aktivitas, monitoring dan evaluasi yang diserap dalam serat digital informasi dalam bentuk data bukti medis.

         Digitalisasi informasi rumah sakit selama ini bergulat di bidang kehumasan, layanan pelanggan (customer service) dan pengumpulan dan pengolahan data. Ketiga unit organisasi rumah sakit ini menjalankan fungsinya dalam konteks formalitas struktural operasional rumah sakit. Kadangkala bergerak sendiri tidak terintegrasi, misalnya data yang masuk memerlukan tidak hanya catatan dan informasi medis, namun terkait dengan suatu perencanaan, analisis dan outcome yang diharapkan.

                Beberapa penelitian sebelumnya mengungkapkan fungsionalisasi digitalisasi informasi rumah sakit merupakan data penting dalam menyusun strategi operasional bisnis rumah sakit dikaitkan dengan konsep manajemen rumah sakit dalam memahami hubungan diantara organisasi rumah sakit di satu sisi dan pemahaman konsep manajemen terhadap kapabilitas dari ICT (Information, system integration dan architecture). Untuk menggapai hal tersebut, suatu penelitian untuk mencapai efisiensi dan efektivitas disiplin informasi yang dapat dioptimasi melalui metode kuantitatif dan kualitatif, menjadi keniscayaan.

Metode kuantitatif adalah penggunanan perangkat digital yang dapat mengukur angka-angka sebagai postulat keberhasilan pelayanan misalnya penilaian penggunaan teknologi diagnostik terhadap keberhasilan tindakan yang dilakukan. Metode kualitatif adalah suatu analisis dan pengukuran skala katagorikal parameter pelayanan dengan tujuan menjembatani nilai ideal dari keselamatan pasien dengan aspek kepuasan yang didapat. Metode ini mengandung kadar psikologis untuk membangun kepercayaan masyarakat dan kadar sosiologis untuk mengeratkan hubungan rumah sakit dengan masyarakat mengembangkan perannya disamping pelayanan namun turut serta memfasilitasi kepekaan terhadap kesehatan komunitas.

        Beberapa contoh yang dapat diajukan dalam tulisan ini adalah sistem integrasi informasi yang dapat mengayomi data awal pasien masuk ke unit gawat darurat dengan berbagai problematikanya, berproses menjadi data-data digital informasi medis untuk manajemen berikutnya yang memuat interaksi profesional kompetensi yang perlu diputuskan. Data tersebut menjadi aliran numerik dan katagorik, tidak hanya menjadi catatan medis namun berkembang menjadi data legalitas pasien dan diolah sebagai suatu sumber data olahan terhadap keberhasilan pengobatan ataupun suatu kematian. Integrasi data yang dicatat mengurai secara runut tidak hanya dirawat inap, namun jika pasien meninggal dunia, unit pemularasan jenazah memiliki data akurat yang dapat digunakan sebagai data predikitif dan menjadi spirit perencanaan strategi preventif. Penggunaan teknologi terkait artificial intelligent dapat menjadi titik tumpu strategi manajemen terhadap kodifikasi sebagai investasi digital rumah sakit untuk masa mendatang.

MKF dan Pengamanan CBR

       Apakah  sudah   saatnya   rumah sakit    menyiapkan    diri    sebagai  bagian pengamanan  CBR (Case Base Reasoning)? Tentunya tidak mudah menjawabnya. Tingkat dan variatif rumah sakit rujukan berbeda terhadap sikap dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Namun, dengan berkembangnya algoritma genetik, program logik, jaringan neural artifisial menjadi suatu harapan baru metoda digitalisasi informasi sebagai jalan keluar terhadap kompleksitas disinformasi di lapangan, yang dalam kondisi tertentu bias informasi yang muncul menjadi ancaman terhadap kepercayaan masyarakat pelanggan. Program CBR dapat dikembangkan sebagai alat untuk merancang pemecahan masalah, kendala dan hambatan apa yang selama ini dialami dan preferensi bagaimana untuk jalan keluarnya. Pendayagunaan program fungsi logik sebagai input dan bahasa komunikasi sebagai output. Dengan demikian, CBR secara original menjadi alat motivasi dalam memahami informasi medis dan problem yang harus disolusikan, yaitu pengetahuan spesifik terhadap pengalaman kasus yang konkrit, dan tindak lanjut artificial neural network memproduksi solusi  terhadap setiap problematika baru. CBR menjadi alat ukur untuk menjembatani berberapa interaksi variabel yang berbeda.

Program logik digital komputer ini mencakup teknik optimasi evolusi  melalui algoritma genetik, melihat multivariabel kasus yang muncul dan program logik untuk melihat faktor apa saja yang memungkinkan untuk memecahkan masalah berdasarkan kombinasi diantara prosedur sebagai proses yang terkoneksi. Salah satu program artifisial inteligen adalah bagaimana suatu power brain bergerak dinamis merepresentasikan fungsinya merekonstruksi suatu kasus melalui konstruksi fasiliitas dengan tingkat efisiensi dan efektif terbukti menjadi problem solver dalam pendekatan diagnostik dan terapi membangun fasilitas.

Kesimpulan

       Manajemen Keamanan Fasilitas (MKF) rumah sakit rujukan merupakan suatu gerakan struktural fungsionalisasi bangunan rumah sakit mengikuti kaidah interkoneksitas berbagai unit /elemen dalam suatu sistem komando integrasi memberdayakan fungsi pelayanannya. Kesinambungan peran MKF didasarkan kepada kompetensi manajemen penilaian resiko dan rekonstruksi digital informasi untuk memberdayakan Key Performance Indikator sebagai alat ukur terjaganya efisiensi dan efektivitas fasilitas berbasiskan standar akreditasi rumah sakit

Rujukan :

JCI Standar Akreditasi Rumah Sakit, 2011

Standar Akreditasi Rumah Sakit : Komite Akreditasi Nasional, 2017

Shohet IM, Lavy S. Healthcare facilities management: state of the art review. Volume 22 · Number 7/8. 2004 · p. 210-220.

Shohet IM, Lavy S. Facility maintenance and management: a health care case study. International Journal of Strategic Property Management 2017. Volume 21 (2):170-182

Bigira ES, Katongole SP. Management of Hospital Security in General Hospitals of Southwestern Uganda. International Journal of Public  Health Research  2015 ; 3(5): 173-179 Published online June 20, 2015 (http://www.openscienceonline.com/journal/ijphr)

Bagikan

Leave A Comment

Recommended Posts

The Relationship Between COVID-19 History and Arterial Vascular Elasticity Measured Using Accelerated Photoplethysmograph Analyzer in Medical Students

Soroy Lardo

Tasya Zuhriya Putri, Nurfitri Bustamam*, Tri Faranita, Agneta Irmarahayu Faculty of Medicine, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Indonesia. *Corresponding Author: Nurfitri Bustamam, MD. Faculty of Medicine, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta – Fatmawati General Hospital. Jl. RS Fatmawati, Pondok Labu, Jakarta 12450, […]

Bagikan
Translate »