dr. Febria Asterina, SpPK
Post Graduate Diploma of Tissue Banking NUS
Penyakit coronavirus yang disebut COVID-19 disebabkan oleh virus Sars-coV-2 muncul pertama kali bulan desember tahun 2019 dan dengan cepat menjadi wabah di kota Wuhan, propinsi Hubei di Cina. Saat ini penyakit tersebut sudah menimbulkan Pandemi di seluruh dunia termasuk di negara Indonesia
Penyakit ini disebarkan melalui percikan sekret saluran nafas sehingga mengenai orang sekitar yang berdekatan dan dapat menimbulkan demam disertai gejala pernapasan dan pneumonia berbahaya yang disebut Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Sampai saat ini tidak ada obat spesifik ataupun vaksin yang tersedia untuk penyakit ini. Sedang diteliti obat antivirus baru, ramdesivir dan favipiravir namun belum diketahui kemanjurannya
Kondisi darurat pandemi ini memaksa timbulnya upaya-upaya terobosan untuk membatasi bertambahnya penularan, salah satunya dengan terapi plasma konvalesen atau passive-antibody therapy. Suatu metode terapi yang digunakan lebih satu abad yang lalu untuk menekan inti wabah campak, polio, gondong dan influenza. Analisis meta dari 32 penelitian mengenai keberhasilan pengobatan plasma konvalesen dan Hyperimmune Immunoglobulin pada infeksi saluran pernapasan akut dan berat yang disebabkan oleh virus, seperti infeksi SARS coronavirus dan influenza, mengungkapkan adanya bukti yang konsisten dalam menurunkan angka kematian, terutama bila diberikan pada fase awal setelah munculnya gejala penyakit yang memberat. Pemberian terapi ini juga pada umumnya aman.
Prinsip Passive Antibody Therapy menggunakan prinsip transfusi darah. Pasien yang baru sembuh dari Covid-19 mendonorkan plasmanya yang banyak mengandung antibodi netralisasi yang bermanfaat untuk melawan penyakit, diberikan pada resipien yaitu orang yang sedang sakit berat karena penyakit yang sama. Antibodi yang diberikan melalui proses transfusi ini diharapkan memberikan manfaat perbaikan segera dan mengurangi lama perawatan.
Terapi plasma konvalesen, menggunakan prinsip transfusi darah, yaitu ada donor dan resipien yang menerima plasma. Transfusi darah dalam JCI adalah terapi risiko tinggi (COP 3.3) dimana rasio manfaat dan risiko tidak terpaut jauh, artinya bisa memberikan manfaat, namun beresiko reaksi tranfusi yang fatal bila tidak dilakukan dengan cara-cara standar dan hati-hati.
Pengertian dan dasar ilmiah terapi plasma konvalesen, bukti-bukti kemanjuran dari berbagai publikasi ilmiah, studi kelayakan kerja berdasarkan protokol-protokol yang sudah ada, serta tinjauan etik dan aspek medikolegalnya perlu dipelajari dan menjadi pertimbangan sebelum diterapkan di negara Indonesia.
Perlindungan hukum bagi dokter dan peneliti kesehatan, bila pemberian terapi plasma konvalesen ini akan dilakukan di Jakarta atau Indonesia perlu dipersiapkan. Sebagai contoh FDA di Amerika Serikat sudah sangat siap dengan sistem medikolegal yang kokoh untuk melindungi para dokter dan peneliti di bidang kesehatan, walaupun dalam kondisi darurat pandemic Covid-19.
silahkan klik link dibawah