Setiap anak tentu akan tergantung pada Ibunya, walaupun sang anak sudah berusia dekade 4-5 (sudah mapan dan berkarir baik). Dimensi dan aura ibu itu…ya menapak bumi, menggapai sekat sekat langit tanpa batas, karena RahimNya tertanam di Ibu kita, menjadi filososfi hidup sejak di dalam kandungannya. Ibu itu …ya ciptaanNya yang paling mulia. Nabi Muhammad SAW sampai tiga kali bersabda tentang kemuliaan ibu. Bukan Matematika, IPA dan Ilmu Sosial yang kita dapatkan, tetapi kehidupan itu sendiri. Bagaimana meletakkan, merencanakan dan menggapai kehidupan dalam kerangka keilmuanNya. Sejarah sudah membuktikan keberhasilan seorang anak ditentukan sejauh mana memperlakukan sang Ibu. Ibu juga menjadi pencerminan tetesan kasih sayang tanpa pamrih, setiap detik mengalir ke dalam relung tubuh dan jiwa kita, berproses membentuk kristal kristal hati yang membuka pandora kehidupan. Dengan tangan kasihnya dan senyum ikhlasnya kita ditempa untuk bersyukur jika mendapatkan suatu rezeki kehidupan dan bersabar jika mendapatkan cobaan. Demikianlah seorang ibu berperan, dia bak sebuah gelas yang terisi air jernih dan menuangkannya satu demi satu tegukkan, sebagai energi kehidupan anak anaknya untuk tidak padam menjalankan kehidupan berikutnya. Sejak ibu menyusui energi itu sudah mulai dihidupkan. Perjalanan ibu itu tentunya berjalan dalam SunatullahNya. Kondisi keterbatasan fisik akan mendatanginya. Tetapi spiritnya tetap hidup, terutama sifat RahimNya itu.

            Jemari ibu itu dengan kelembutannya menggenggam kehidupan kita. Jemari memang hanya bagian genggaman tangan, namun makna filosofinya sangat dalam, karena dari rangkaian jemari, mengungkap makna kehidupan dari anak anaknya. Dengan jemari itu seorang ibu mempersiapkan rancangan kehidupan anaknya, berharap anaknya menjadi anak yang saleh dan melepaskan dengan kekhawatiran saat anaknya dilepaskan ke lingkungan “abu abu dengan berbagai ideologi”. Jerami ibu memang harus kuat menopang anak anaknya. Dengan jemari itu dia menyusui anaknya dengan pandangan tulus, kadangkala dengan nyanyian kecil. Kita yang saat bayi mungkin hanya bisa memandang dan mencari asal nyanyian indah tersebut. Pernahkah kita memahami, saat air susu itu kita hirup bukan gizi makanan dan fungsi daya tahan tubuh yang meningkat, tetapi energi kehidupan. Energi itu menjadi signal-signal yang berjalan dalam tubuh, masuk ke dalam sel tubuh, melaksanakan reaksi enzimatis dan memproduksi berbagai hormon untuk mengatur kehidupan kita saat tumbuh dan kembang. Apakah hanya berhenti disana? Tidak juga, Energi kehidupan itu akan terus mencari nilai nilai kehidupan yang lebih baik dan akan terus mencari. Saat Ibu membuai dengan lantunan ayatNya, energi itu menangkap reseptor ayat tersebut membangun energi baru yang terus tumbuh menuai sifat sifat kebaikan di dalam diri kita. Lantunan ayatNya itu akan bersemi didalam tubuh dalam Cluster Jaringan (CD) sebagai energi yang tersimpan, dan menjadi kekuatan saat adanya lingkungan bakhil yang menggangu keseimbangan energi tersebut. Percayalah bahwa Jemari ibu itu mendidik dan menggenggam energi tubuh kita sejak kita lahir untuk terus tumbuh dan terjaga. Jemari Ibu itu adalah rahmat Allah SWT untuk menjadikan anak-anaknya dalam menjalani tantangan kehidupan, tidak terlepas dari ikatan denganNya.

       Sedekah seorang ibu itu…ya dari sorot mata dan gerak empati tubuhnya. Seorang anak yang memahami pentingnya peran ibu, akan betah beralama lama di dekatnya. Ada nuansa ruh kehidupan disana, yang membawa kita menerawang saat dibesarkan, tumbuh dan berkembang. Sedekah seorang ibu, tidak seperti memberikan sedekah keseharian yang kita lakukan selama ini. Sedekahnya adalah investasi hidup, tali temali kehidupan yang dirajut dengan nilai nilai kesemestaan yang mampu menembus lapisan langit. Karena itu, beruntunglah bagi yang sampai saat ini masih menggenggam dan mengecup keningnya, mengalir arus (pathway) rahman dan rahimNya menembus nurani tubuh, bak suatu kaskade obat intravena yang dimasukkan ke dalam tubuh kita. Obat tersebut melalui metabolisme enzimatis akan mengeliminasi berbagai toksin jiwa yang sakit, bertransformasi menjadi jiwa menuju ruh ihsan kebaikan. Sedemikian besar sedekah seorang ibu ya…., masih ingatkan saat kita menjalani pendidikan Sekolah Dasar, sebelum berangkat selain uang jajan, kecupan dan doa hangatnya yang diberikan setiap hari, menggetarkan malaikat malaikat untuk melantunkan doanya untuk kita, kelak menjadi dewasa yang selalu ingin berkontribusi untuk kehidupan yang lebih baik. Sedekah seorang ibu adalah tol kehidupan, bertansformasinya gagasan yang memantik nilai ramatan lil alamin dalam relung tubuh kita, dan terkuak sebagai amal saleh.

      Dimensi amal seorang ibu biasanya tersembunyi. Sedekah, silaturahmi dan kepedulian kepada yang tidak tidak mampu baru muncul jika ibu kita sakit atau mungkin meninggalkan kita. Sungguh amal yang dibuatnya selalu didekap erat, jika bisa tidak ada yang mengetahui. Seorang ibu itu menyimpan amalnya seperti saat menyusui anaknya. Saat menyusui itu dengan kasih sayang, dilihatnya bola mata kita yang berbinar seolah ingin menyapa, walaupun tidak mampu. Proses menyusui merupakan proses alamiah, namun memiliki dimensi filosofis yang dalam. Didalamnya terkandung selain pemberian nutrisi, berjalannya interaksi dan transformasi kasih sayang, nilai nilai hidup dalam kerangka halal dan membangun tubuh dan jiwa yang kuat. Namun yang tidak dilupakan, terkandung suatu nilai sosial untuk beramal, setelah kita tumbuh, berkembang dan dewasa. Dengan proses ini seorang ibu juga membangun suatu keharmonisan di dalam rumah, untuk berjiwa sosial dan berbagi. Jika ibu kita sakit / dirawat suasana rumah menjadi berubah, kita yang perlu mengisi nilai nilai amal sosial untuk menghidupkan suasana seperti itu. Hal tersebut kami alami, satu hari setelah ibu dirawat di rumah sakit karena jatuh. Jika tidak, akan didatangkan oleh Nya untuk merenungkan suatu nilai amal. Pagi itu datang suami istri ke rumah, suaminya membawa istrinya dengan kursi roda, pemikiran kami apa keperluannya kerumah ya……  Ternyata istrinya yang di kursi roda adalah penjahit keliling, mendatangi satu rumah ke rumah lain supaya mendapatkan orderan. “Apakah Ibu ada? “kami jawab sedang dirawat di rumah sakit. “Ibu selalu membantu kami dengan menjahit baju bajunya yang benangnya terlepas dalam dua tahun terakhir ini” dan ini memberikan tambahan kehidupan untuk kami. “Apakah kami boleh meminta sejumlah koran?” “Untuk apa” tanya kami. “Kami perlu untuk membuat pola baju, ibu biasanya memberikan dalam jumlah yang banyak”. Kemudian kami berikan sejumlah koran, dan kedua suami istri itu berjalan meninggalkan rumah kami. Orang tua kita, sepertinya pada usianya, menjadi malaikat-malaikat sederhana, dengan bantuan sedikit memberikan suatu arti kehidupan untuk orang lain. Mungkin suatu waktu akan diperlihatkan peran amalnya lainnya sebagai malaikat sederhana.

        Pernahkah terpikir suatu waktu kita perlu mengetuk pintu langit, mengurai langit untuk memendarkan cahayanya dan meredupkan nilai kekhawatiran kita terhadap seorang ibu. Kondisi ini mungkin akan dihadapi setiap anak, apapun gelar, posisi dan jabatannya. Kita hanya memiliki sepenggal kehidupan di dunia ini, dan penggalan itu harus kita jaga supaya tetap utuh. Nuansa kehidupan dengan berbagai dinamika yang kita alami saat ini, tidak terlepas sejauh mana kita merajut penggalan hidup menjadi bongkahan batu yang kuat, namun akan terasa sejuk jika mendapatkan tetesan air yang terus mengalir. Ibu itu….bak tetesan air yang mengalir, akan merasuk kedalam relung jiwa dan kehidupan, membawakan doanya yang mengentak langit dan menembus bumi. Dengan kesibukan kita memikirkan karir, persaingan jabatan mungkin sikut kanan sikut kiri, ingatlah doa ibu tetapi mengalir di tubuh kita. Tergantung kita akan menjaganya atau tidak.Tetesan air itu akan berkurang saat dimensi nurani kita sibuk dengan nilai nilai dan keinginan sesaat, namun akan bertambah saat kita sibuk dengan nilai-nilai untuk mencerahkan kehidupan itu sendiri. Seorang ibu dengan usianya yang makin menua, kemampuan tubuhnya yang makin rentan, kemunduran proses berpikir, tetaplah kita harus menggayutnya, walaupun mungkin kita tidak sabar menghadapi berbagai pola pikir dan keinginannya. Kenapa demikian….ya itu tadi tetesan air yang mengalir. Tetesan air ibu akan terus masuk dan menggerus lapisan hati kita yang kotor untuk tetap menjadi lapisan yang bening. Ibu dan tetesan air mengalir, adalah sedekahnya sepanjang hayat untuk anak anaknya menjadi anak yang salih, dan amal jariah anaknya saat dia meninggalkan kita kelak.

       Tahukah kita bagaimanakah seorang ibu menyapa kehidupan? Ibu itu menyapa kehidupan seperti menanam padi. Dia akan siapkan dulu lahannya berupa petak sawah, kemudian tanahnya dibajak supaya gembur dan memiliki kandungan tanah siap menanam benih padi. Proses ini adalah suatu inklusif kehidupan. Beliau mengajarkan agar tumbuh kembang yang kita jalani beralaskan benih kehidupan, ada tahap yang perlu diikuti, dan ibu menyiapkannya sejak kita berada dalam kandungannya. Perjalanan selanjutnya, menjaga benih padi untuk tumbuh, menghadapi berbagai gangguan dari alam, vektor dan juga kandungan enzimatis tanah yang belum tentu mendukung pertumbuhan tersebut. Proses ini adalah suatu eksklusif kehidupan. Maknanya, Ibu merupakan penjaga “mutiara” kecilnya dari berbagai gangguan untuk berkembang, sehat dan memahami kemandirian kita pertama kali menjejakkan kaki di lantai saat memulai berjalan. Demikianlah ibu membina tumbuh kembang sampai kita dewasa. Apakah ada lagi yang dapat kita maknai dari proses menyapa kehidupan? Satu lagi, Proses ekstensif kehidupan. Proses ini adalah nilai silaturrahim sebagai jalinan dan jejaring berkah kehidupan. Jum’at pagi minggu lalu, menjelang operasi, setelah subuh datang serombongan ibu-ibu pensiunan kantor dengan membawa seorang ustadz, mendoakan kepasrahan dan keikhlasan untuk menjalani operasi. Doa dan shalawat Nabi SAW berkumandang indah dengan keharuan yang dalam di ruangan tersebut, seakan memanggil malaikat untuk turut berdoa. Bagaimanapun, tindakan operasi bagi usia lanjut dengan berbagai komorbid, memiliki tingkat resiko yang perlu dipersiapkan dengan baik. Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Dua hari kemudian, minggu sore datang serombongan ibu ibu pengajian dari kampung belakang kompleks rumah. Mereka datang, dan dipimpin oleh satu ustadzah memimpin doa, dan dalam keharuan shalawat berkumandang  kembali. Apa makna dari kejadian ini, ternyata walaupun tidak mengikuti kegiatan pengajian dengan ibu ibu di kampung, setiap jalan pagi beliau selalu menyapa, memberikan senyuman dan berkontribusi untuk kegiatan amal. Inilah makna silaturahmi, tidak selalu komunikasi fisik. Suatu nilai doa yang disemai sebagai bulir padi, menjadi amal perbuatan berbuah sebagai penenang dan semangat kehidupan untuk bangkit kembali, melalui doa doa yang datang dengan tidak diduga.

Jakarta, 10 September 2019

Bagikan