oleh:
Prof. Deni Kurniadi Sunjaya
Guru Besar Fakultas Kedokteran UNPAD
Bangsa Indonesia akan merayakan usia ke 100 sekitar 21 tahun dari sekarang. Indonesia Emas sudah ramai dibicarakan pengatur negara, cendekiawan, politisi, akademisi dan praktisi. Emas, kata yang penuh harapan dan bayangan, mimpi positif negara dan bangsa dengan 324.054.100 penduduk di dalamnya. Seorang yang berumur 40 tahun saat ini, insya Allah, akan menyandang gelar “lanjut usia” pada saat merayakan kemerdekaan ke 100 nanti. Sedangkan yang berumur 50 tahunan, dalam waktu yang tidak akan terlalu lama lagi akan mendapat sebutan lansia atau senior dari orang-orang sekeliling. Apakah kehidupan lansia akan menjadi penuh ”keemasan” seperti halnya Indonesia Emas? Atau justru menjadi penuh kecemasan di masa Indonesia emas?
Instrumen kebijakan di Indonesia mendefinisikan lanjut usia sebagai seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sejak beberapa tahun lalu muncul perdebatan untuk menggeser batas usia lansia dari 60 ke angka 65 tahun dengan berbagai motivasi di dalamnya. Pendapat ini cukup masuk akal, mengingat masih banyak kelompok lansia yang justru memiliki potensi produktivitas dengan kebugaran yang sangat tinggi sampai berusia 65-70 tahun.
Lansia dikelompokkan menjadi lansia muda (60-69 tahun), lansia madya (70-79 tahun) dan lansia tua (lebih dari 80 tahun). Pengelompokan tersebut cukup menghibur dan penuh optimisme bagi para senior. Berpandangan positif, mengapa tidak? Sementara itu, median usia harapan hidup (Eo) telah meningkat dari 52,2 tahun (1980) menjadi 73,37 tahun (2020), 1 dan diperkirakan menjadi 76 tahun pada tahun 2050. Masih jauh dari usia Nabi Nuh AS, yang berdasarkan Kitabullah, periode berdakwahnya saja 950 tahun. Beliau paling tidak, mencapai usia lebih dari 1000 tahun. Menjadi pertanyaan kita semua, apakah kualitas hidup manusia jaman tersebut jauh lebih baik? Apakah karena faktor genomik, nutrisi, pelayanan kesehatan, perilaku, atau determinan sosial kesehatan lain yang kita yakini hari ini?
Indonesia, saat ini, telah menjadi negara dengan populasi tua, dimana prosentasi penduduk lansia telah mencapai 11,1% pada tahun 2023. Prosentasi lansia akan menjadi 19,8% pada tahun 2045, dengan populasi sebesar 66.339.000 jiwa. Jumlah lansia tersebut jauh di atas keseluruhan populasi negara Malaysia pada tahun yang sama.
Pemerintah telah merespon isu ini dengan memformulasikan kebijakan kelanjutusiaan. Kelanjutusiaan adalah pendekatan yang digunakan untuk mengetahui masalah dan solusi tentang lanjut usia dengan mengedepankan proses menjadi lanjut usia sejak usia dini hingga akhir hayat. Secara preskriptif, kebijakan ini mendorong pengelolaan yang kontinum berdasarkan siklus hidup, dengan akhir di masa lansia. Pada saat lansia, sebagian besar masalah/ faktor risiko di masa sebelumnya akan menjadi masalah publik di berbagai sektor. Oleh karena itu, pengelolaan lansia secara operasional sejatinya dimulai sebelum menjadi lansia.
Peningkatan jumlah lansia secara global telah memunculkan fenomena “silver economy”. Pandangan jumlah populasi lansia sebagai “beban dan ketergantungan”, diubah menjadi “kesempatan” dalam konteks ekonomi. Jumlah lansia di Indonesia mencapai 33 juta pada tahun 2024, akan menjadi 2 kali lipat di tahun 2045. Calon lansia perlu disiapkan lebih banyak sebagai lansia “emas” dibanding lansia “cemas”. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu, keluarga maupun negara menjadikan lansia mandiri dan sehat holistik serta produktif. Secara tradisi, kita selama ini lebih banyak bicara tentang bagaimana “mengisi” masa tua. Pandangan tersebut perlu digeser menjadi bagaimana “menyiapkan” masa tua. Dengan cara pandang tersebut, sekolah lansia sejatinya dimulai sebelum lansia. Kebijakan operasional kelanjutusiaan saat ini perlu didorong dari “pengelolaan lansia” ke arah “penyiapan menjadi lansia”.
Silakan Unduh PDF Lengkap
DOWNLOAD PDF MENYIAPKAN LANSIA MANDIRI DAN SEHAT HOLISTIK MENUJU INDONESIA EMAS