oleh :  

Soroy Lardo

               Dalam sebulan ini kita menghadapi “serangan” Demam Berdarah Dengue (DBD), sungguh mengenaskan untuk beberapa kabupaten didapatkan adanya kematian akibat penyakit ini. Kami di RSPAD Gatot Soebroto mendapatkan dua kasus dengue. Kasus pertama (usia muda) masuk hari kedua demam dengan syok. Setelah diatasi di ICU, perjalanan perawatan di ruangan mengalami beberapa kali penurunan tekanan darah dan respon perbaikannya lambat. Pasien ini dengan infeksi sekunder (Ig M dan Ig G positif) dan serotipe DEN-2. Kasus kedua usia (50 tahunan) masuk hari ketiga demam (fase kritis) tidak mengalami fluktuasi tekanan darah. Dengue infeksi sekunder dengan gangguan hati. Pasien sudah mengalami perbaikan.

         DBD adalah fenomena epidemiologi siklus lima tahunan dan fenomena gunung es, kasus yang muncul sebenarnya belum menggambarkan keadaan faktual. Kenapa fenomena “outbreak” tidak pernah tuntas ? Tentunya, kita harus melihat kembali kepada perspektif manajemen DBD, dan komitmen integrasi dalam satu simpul tali yaitu hulu dan hilir.

        Saat ini anomali cuaca berakibat bencana di berbagai daerah di Indonesia, baik banjir maupun banjir bandang yang menimbulkan kerusakan material tidak sedikit. Hal yang perlu diwaspadai adalah timbulnya penyakit infeksi paska banjir dan kemungkinan meningkatnya infeksi virus terutama  Demam Berdarah Dengue (DBD). Data yang dikemukakan Direktorat P2PL Depkes sejak Januari hingga Juni 2013 di seluruh Indonesia terdapat sebanyak 48.905 penderita DBD. Mereka tersebar di seluruh provinsi. Dari sejumlah penderita sejumlah, 376 orang diantaranya meninggal dunia. Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat DBD secara historis merupakan penyakit virus yang sudah berlangsung lama. DBD  pertama kali dilaporkan oleh David Bylon di Batavia /Jakarta tahun 1770 sebagai Demam Dengue Endemik, sedangkan Demam Berdarah Dengue pertama kali diketahui di  Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, sementara konfirmasi virologi mulai diperoleh tahun 1970.

        Seperti kita ketahui, DBD menimbulkan beban terhadap masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di daerah endemik. Secara global, jumlah Disability-Ajusted Life Years (DALYs) yang hilang tahun 2001 sebesar 528. Penelitian di Puerto Rico (1984 dan 1994), perkiraan tahunan dari  580  DALYs per satu juta penduduk hilang akibat Dengue sama dengan total kumulatif DALYs lost malaria, tuberkulosis, penyakit cacing dan penyakit anak di Amerika Latin dan Karibia. Sedangkan Di Asia Tenggara berdasarkan studi prospektif terhadap anak sekolah, rata-rata annual burden  Dengue periodik 5 tahun didapatkan 465.3 DALYs per satu juta penduduk, dengan pasien yang tidak dirawat berkontribusi sebesar 44 – 73 %

            Hikmah apa yang dapat kita ambil dari kondisi ini ? Bukankah  sejak lama pihak otoritas dunia (WHO), pemerintah dan para pakar  sudah banyak merumuskan strategi penanggulangan DBD yang ditopang sejumlah penelitian. Berbasis pemikiran tersebut, seharusnya kebijakan dan penanggulangan DBD dapat dilaksanakan dengan optimal. Namun hal tersebut ternyata tidaklah mudah, mengingat DBD termasuk katagori re emerging diseases dimana proses perkembangan penyakit ini tidak semata sebagai infeksi virus yang menyerang manusia dengan berbagai simtom (gejala) saat masuk perawatan rumah sakit, tetapi  juga  proses multifaktorial yang terjadi pada seseorang bila terserang DBD.

          Multifaktorial tersebut dapat kita bagi dari dua aspek. Pertama adalah aspek hulu. Aspek hulu mencakup kondisi perubahan cuaca, perilaku hidup sehat dan kesehatan lingkungan, termasuk berbagai kebijakan dan SOP (Standar Operational Procedure) yang dipersiapkan dalam mengantisipasi terjadinya suatu kejadian luar biasa, berdasarkan pendekatan early warning. Dalam hal ini, peta endemik DBD untuk setiap wilayah menjadi penting. Di Jakarta tahun 2006 didapatkan 24.932 penderita DBD dengan Case Fatality Rate 0,2 %, dimana pada saat itu dipetakan data kelurahan merah sebagai kelurahan yang tinggi tingkat dan beratnya DBD.  Kedua adalah aspek hilir. Aspek hilir mencakup perjalanan klinis (termasuk patogenesis) pasien yang terkait dengan keadaan sistem daya tahan tubuh (imun)  dan tingkat beratnya pasien saat masuk ke rumah sakit.

Kondisi perubahan cuaca yang dikatakan anomali ini berperan terhadap penyebaran penyakit tersebut. Menurut Gento Harsono  (Republika  27 Juli 2013) dan Suharyo Hadisaputro, dengan adanya pengaruh IOD (Indian Ocean Dipole) negatif dengan intensitas hujan yang tinggi memberikan habitat optimum nyamuk lebih aktif menjalani proses perkawinan, dan penting pada stadium awal proses nyamuk Aedes aegypti. Kelembaman tinggi memainkan peran penting vektor mengalami perubahan bionomik dalam daya tahan hidup, densitas nyamuk akan meningkat dan memperluas proses penyebarannya.

Perilaku hidup sehat dan kesehatan lingkungan menjadi faktor yang menjadi perhatian utama. Mengingat DBD yang sudah menelan ratusan jiwa seolah sebagai pembunuh diam-diam. Faktor perilaku merupakan suatu yang kompleks yaitu   resultan dari bermacam aspek internal maupun eksternal, psikologis maupun fisik. Perilaku ini berkaitan dengan berbagai faktor sosial, ekonomi dan sifat kultural. Kemungkinan penyebab masih tingginya angka DBD, diperkuat oleh adanya kesenjangan aspek perilaku ini. Masyarakat kita belum mencapai tingkat sadar pentingnya kesehatan sebagai perilaku hidupnya. Informasi kesehatan secara kontinu yang disampaikan pemerintah belum sepenuhnya membentuk budaya hidup sehat pada masyarakat. Hal tersebut tentunya, paradigma kesehatan lingkungan yang didambakan belum secara maksimal dapat kita jalankan.

            Mata rantai berikutnya adalah melihat pendekatan dari aspek klinis pasien. Pengalaman klinis penulis dalam mengelola pasien DBD berat di rumah sakit  rujukan, memerlukan suatu effort lebih dalam memahami aspek perjalanan klinis dan imunopatogenesis penyakit. DBD berat yang mengalami pendarahan, syok dan komplikasi multiorgan merupakan kondisi hilir dari pasien yang masuk ke rumah sakit. Komplikasi tersebut menunjukkan kompleksitas penyakitnya  yang membutuhkan suatu parameter terukur dalam menilai beratnya DBD, sehingga penatalaksanan dapat dilakukan dengan progresif. Untuk Hal tersebut WHO (2009 dan 2011) sudah mengeluarkan Guidelines Dengue terutama dalam menentukan early warning dan manajemen yang komprehensif.

         Beberapa pakar DBD mencoba menilai melalui  parameter perubahan klinis dan laboratorium misalnya gangguan fungsi hati, beberapa marker inflamasi (peradangan) sebagai prediktor memberatnya DBD. Melalui konsep tersebut maka dibuat skoring sebagai patokan menilai beratnya DBD. Diharapkan, angka kematian dapat diturunkan. Kemampuan mengelola DBD berat membutuhkan proses dan learning by doing yang cukup panjang. Bagi dokter dan petugas kesehatan perlu dilatih secara konsisten dan berkelanjutan berbasis kasus untuk dapat menilai, menginvestigasi dan mengidentifikasi setiap early warning pasien DBD yang masuk rumah sakit, sehingga tindakan awal dapat di inisiasi.

Perspektif Out of The Box

            Perspektif  penanggulangan DBD adalah mencari benang merah dari faktor hulu dan hilir yang terjadi saat ini. Sehingga kita mendapatkan simpul untuk merekatkan kedua faktor tersebut.

         Perspektif hulu adalah mengerahkan dan mengaktifkan kembali pentingnya  aspek perilaku kesehatan dan kesehatan lingkungan. Menurut Lawrence W. Green mewujudkan pengetahuan, sikap, kepercayaan , keyakinan serta nilai-nilai kesehatan di masyarakat melalui tiga tahap. Pertama, adanya keteladanan, baik dari pemimpin masyarakat maupun petugas kesehatan, misalnya pentingnya menjaga lingkungan bersih untuk mencegah penyebaran DBD. Kedua adanya wadah informasi, konsultasi dan partisipatif diantara petugas kesehatan dan masyarakat dalam mengatasi problematika DBD. Ketiga terbentuknya suatu proses yang terus menerus dengan berbagai interaksi kesehatan dan komunitas yang ada.

         Perspektif hilir adalah bagaimana para pakar / dokter/ petugas kesehatan yang mengelola  DBD di institusi pelayanan kesehatan primer dan rujukan berkemampuan melaksanakan suatu konsep dan algoritma penatalaksanaan DBD berdasarkan suatu kewaspadaan dini untuk dapat melihat kondisi DBD berkembang menjadi berat. Salah satunya melalui sosialisasi yang kontinu dari Guidelines WHO dan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan DBD. Beberapa sistem skoring untuk memprediksi beratnya DBD, sudah dikembangkan oleh beberapa pakar dan perlu disambut oleh pihak yang menentukan kebijakan (Pemerintah), sehingga melalui sosialisasi yang kontinu dapat dibuat simpul yang kuat menghubungkan perspektif hulu dan hilir.

            Untuk melakukan upaya tersebut,  perspektif out of the box menurut pandangan penulis merupakan  acuan utama dalam strategi penanggulangan DBD. Perlu adanya kelompok / pakar infeksi yang melihat permasalahan dan kompleksitas DBD berdasarkan out of the box. Melihat dimensi berdasarkan titik tolak objektivitas, komprehensif, merubah paradigma serta menautkan simpul penanggulangan DBD dalam satu koneksitas terpadu.

______________________________________

 

Dr. dr. Soroy Lardo,  SpPD FINASIM. Kepala Divisi  Penyakit Tropik  dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto’

Dimuat di Kolom Medika, April 2014 (Revisi 12 Februari 2019)

 

Rujukan :

GUIDELINES FOR DIAGNOSIS,

WHO. 2009 : Dengue : Treatment, Prevention and control New Edition

WHO. 2011 :Comprehensive Guidelines for Prevention and  Control of Dengue , and Dengue Haemorrahagic Fever.

Leonard Nainggolan : Pengembangan Sistem Skor Sebagai Prediktor Kebocoran Plasma Pada Demam Berdarah Dengue : Peran sTNFR-1, VEGF, sVE –Cadherin Dalam Patofisiologi Kebocoran Plasma. Ringkasan Disertasi Doktor FKUI, 2012

Suharyo Hadisaputro. Global Warming and Incidence of Tropical Infectious Diseases. Buku Proseding Kongres Nasional Perhimpunan Tropik Infeksi (Petri). 2009

Bagikan