Harian Republika mengungkap satu topik menarik, pernyataan Dirjen Iptek Dikti Kemenristek Prof Ali Ghufron tentang dosen sebagai pemimpin bidang akademisnya. Dosen harus menjadi Leader pemikir bagi arah keilmuan baru. Transformasi untuk membangun tersebut sepertinya belum terlambat, walaupun upaya untuk itu sudah dilaksanakan sebelumnya. Academic Leader seorang dosen sepertinya harus menapak pada dua sisi kehidupan, yaitu sisi idealitas dan sisi realitas. Sisi idealitas tentunya membentuk aksioma keilmuannya dalam tataran filosofis yang menjadi kebijakan komitmennya sebagai tenaga pendidik. Kadangkala tidak mudah, karena dia harus bergelut dengan ilmu ilmu (misalnya biomokuler dan imunologi) yang terus berkembang dan belum tahu ujungnya, dalam proses perjalanannya turun tangan tangan Tuhan untuk membantunya. Sisi realitas adalah kompleksitas objektifas kondisi sosial masyarakat dengan berbagai stratifikasi masalah dengan keilmuan yang dimiliki untuk menjadi problem solver. Dosen Academic Leader sepertinya harus menempa diri secara konsisten untuk menciptakan jembatan jembatan menautkan kedua sisi tersebut untuk membuat suatu algoritma, guidelines yang menapak dan membumi sebagai tuntunan masyarakat. Dosen Academic Leader juga tidak harus dimiliki oleh Dosen yang bekerja di Perguruan Tinggi. Seorang dokter yang bekerja di rumah sakit, PNS yang mengurus Diklat di Kementeriannya bertugas, asalkan spirit untuk inovasi menjadi jalan berpikir kesehariannya. Dosen Academic Leader dengan kebaruan pemikirannya, senantiasa selalu menjejakkan keilmuannya kepada mahasiswanya menjadi suatu deret ukur terbentuknya kader inovasi bangsa berkesinambungan……untuk NKRI yang kita cintai.
Akankah kita terpaku terhadap birokrasi dan nuansa yang kadang menghambat nilai keilmuan di tempat bekerja ? Terutama di lingkungan yang belum siap dengan inovasi keilmuan ? Dosen Academic Leader memiliki tanggung jawab untuk itu, berkemampuan memberikan secercah tautan cahaya kepada anak didiknya yang membangkitkan kesadaran bahwa transformasi keilmuan itu menjadi keniscayaan untuk perubahan sosial di masyarakat. Istilah kerennya sebagai agent of change. Tentu makna ini tidak mudah untuk ditangkap untuk generasi milenial, mengingat era digital sedemikian cepatnya mengubah informasi, yang mungkin tidak melihat empati dan dampak sosial sebagai suatu proses. Saat ini sepertinya penilaian secara hati keberhasilan “proses” sebagai wujud outcome perlu dimaknai kembali.
Dosen Klinis RSPAD Gatot Soebroto
Lektor FK UPN Veteran Jakarta