oleh:

soroy lardo

Scientific Health Security – Bio Threat – Divergensi Ketahanan Nasional

Pendahuluan

         Rumah Sakit Rujukan dalam kerangka Global Health Security Agenda (GHSA) adalah komitmen dan spirit terhadap problematika dan kompleksitas kesehatan tingkat global yang berdampak terhadap situasi regional dan nasional. Kondisi global kesehatan yang berjalan dinamis menuntut akselerasi konseptual dan terencana setiap komponen bangsa, mempersiapkan potensi organisasi dan sumber daya kesehatan untuk memiliki kesiapan menghadapi emerging diseases yang fluktuasinya tidak dapat diprediksi.

         Presiden Barack Obama bulan September 2011 di Majelis Umum PBB menandatangani kesepakatan dengan WHO mengenai keamanan kesehatan global, mendesak semua negara memiliki kapasitas untuk mengatasi keadaaan darurat kesehatan masyarakat. Kesenjangan yang terjadi antar negara perlu disinergikan, mengingat saat itu hanya sekitar 20 % melaporkan kemampuan dalam mendeteksi dan merespon penyakit berdasarkan IHR 2005. Kebijakan setiap negara dalam program dan sumber daya untuk meningkatkan kesiapsiagaan kesehatan masyarakat global, perlu ditindakalanjuti dalam Sustainability Development Programs (SDGs). Setiap pemerintah diharapkan memiliki strategi komprehensif dalam memandu dan mengukur dampak kedaruratan kesehatan masyarakat yang timbul.

GHSA dalam Perspektif Kebijakan Global

      Kerangka kerja GHSA adalah konsep keamanan global mencakup kesiapsiagaan dan respon terhadap penyakit menular. Sejak tahun 2014 diluncurkan kolaborasi antara pemerintah, mengingat ancaman penyakit menular sudah mencapai titik kulminasi mengkhawatirkan. GHSA memiliki fokus terhadap penguatan kapasitas negara terutama dalam deteksi, respon dan preventif. Prinsip GHSA adalah memastikan bahwa keamanan warga negara sebagai individu berada dalam tataran keamanan nasional, pendulum menggerakkan kesehatan untuk semua. Pencapaian kerangka tersebut memerlukan dukungan keuangan dan politik dari organisasi internasional.

       Jika merujuk kepada WHO, konsep kesehatan global memprioritaskan untuk melindungi negara-negara maju terhadap ancaman kesehatan masyarakat dari negara berkembang.  Pertama; Kejadian Luar Biasa Infeksi (KLB) atau penyebaran infeksi dari virus Ebola, Marburg, virus Zika, Demam Berdarah, Chikungunya dan demam Lassa berasal dari negara-negara tersebut.  Kebijakan menghadapi infeksi global ditujukan terhadap penilaian resiko berdasarkan lokasi infeksi, infrastruktur pelayanan dan kapasitas sumber daya yang tersedia. Agenda keamanan kesehatan nasional ini merupakan bagian dari kebijakan nasional yang memerlukan dukungan politik dan anggaran keamanan nasional. Kedua; Perspektif keamanan kesehatan global memiliki kecenderungan menghadapi penyebaran penyakit untuk melindungi keamanan nasional, kadangkala kurang memperhatikan pencegahan wabah lokal sebagai nilai antisipatif kejadian berikutnya. Pengendalian infeksi yang selama ini menitikberatkan terhadap kejadian infeksi yang baru muncul dalam konteks yang dikembangkan oleh WHO, melihat sebagai keamanan nasional yang memerlukan solusi unitlateral dan dirancang dalam perencanaan yang berkesinambungan. Misalnya, dengan maraknya kejadian Ebola di Afrika Barat 2013-2016, banyak perusahaan penerbangan memberlakukan pembatasan perjalanan ke lokasi tersebut. Ketiga; GHSA merupakan kebijakan yang mengutamakan hak asasi manusia dengan nilai kesetaraan dan solidaritas dalam agenda keamanan nasional. Nilai-nilai tersebut konsisten dengan spirit menyediakan layanan kesehatan dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat. Agenda keamanan kesehatan harus bertujuan untuk membangun ketahanan terhadap wabah penyakit menular di masa depan, membutuhkan sinergitas jangka panjang diantara penguatan sistem kesehatan nasional, pengawasan dan evaluasi di setiap outbreak. Keempat; Penguatan tanggung jawab setiap pemerintah pendayagunaan jaminan kesehatan global, dengan tujuan terbangunnya solidaritas dan keberlanjutan mengatasi kedaruratan kesehatan.

       Pijakan untuk mengatasi agenda keamanan kesehatan global adalah sejauh mana pemangku kebijakan menyikapi penyebaran patogen sebagai suatu ancaman yang serius. Patogen dengan potensi penyebarannya bergerak mengikuti sistem perjalanan, perdagangan dan distribusi makanan global, tidak mengenal batas. Penyebaran penyakit menular tanpa sekat ini, menciptakan kebutuhan solusi global pada tahun 2005 yang ditandatangani oleh 194 negara anggota WHO sebagai International Health Regulation (IHR). Agenda program yang dijalankan adalah membantu negara-negara untuk mengembangkan laboratorium penyakit menular nasional, sistem pelaporan elektronik kesehatan masyarakat dan pusat operasi darurat.

      Kolaborasi dan inisiatif ini bermotifkan kekhawatiran timbulnya ancaman penyakit  menular, diantaranya adanya infeksi baru, patogen resisten obat, epidemi sebagai tantangan kesehatan global dan stabilitas politik dan ekonomi. Wabah penyakit infeksi yang muncul dalam periodik waktu tertentu menumbuhkan kesadaran baru perlunya langkah antisipasi global yang tepat dan terukur. SARS yang terjadi pada tahun 2003 menginfeksi sekitar 8000 orang, merenggut nyawa 775 orang dan menimbulkan kerusakan ekonomi regional sebesar 30 miliar US Dollar dalam empat bulan. Pandemi influenza H1N1 tahun 2009 menewaskan 284.000 orang pada tahun pertama. Kemudian wabah MERS Co Vi di Timur Tengah tahun 2012 dan wabah influenza H7N9 2013 di China. Disisi lain terjadi peningkatan kasus tuberkulosis yang resisten beberapa obat.

Kondisi faktual yang dikemukakan diatas, menjadi faktor pendorong pembentukan bantuan Presiden Amerika Serikat dalam bentuk PEPFAR (President Emergency Plan for AIDS Relief). Inisiatif lain adalah dibentuknya Konsorsium Infeksi Saluran Pernafasan Akut Internasional, sebagai platform global bersama untuk pengumpulan data klinis dan protokol pengambilan sampel biologis selama epidemi.

       Sistem tanggap darurat yang tepat adalah meningkatkan pengawasan dan laboratorium yang berkemampuan membatasi kerusakan epidemi. Konsep ini diterapkan oleh CDC tahun 2013 bekerjasama dengan Kementrian Kesehatan Uganda dan Vietnam yang didukung oleh PEPFAR. Program ini mengembangkan sistem kurir sepeda motor melakukan perjalanan melalui daerah pedesaan untuk mengambil sampel darah  bayi yang baru lahir dari ibu dengan HIV positif, dan mengangkut darah ke laboratorium untuk diagnosis yang cepat.

        CDC dengan perencanaan anggaran 95 juta US Dollar, berkolaborasi dengan mitra internasional mengembangkan program, platform dan kemitraan untuk membangun kapasitas agenda keamanan kesehatan global. Beberapa program tersebut meliputi program deteksi penyakit global, program antisipasi munculnya ancaman pandemik, program keterlibatan biologik, sistem pengawasan dan respon terhadap emerging diseases. Program ini diharapkan secara efektif membantu GHSA dalam proses pengobatan, pencegahan dan efektifitas respon penyakit. Pencapaian dan tujuan ini merupakan tanggung jawab dan tekad politik yang berpengaruh terhadap investasi ekonomi yaitu suatu kebijakan dan keakhlian teknis dalam respon cepat manajemen wabah.

GHSA sebagai Pembangunan Berkelanjutan

     GHSA sebagai pembangunan berkelanjutan merupakan tataran ketahanan nasional dan bagian penting dari SDGs. Program SDGs bertumpu kepada akar pendidikan, kualitas sosial dan ekonomi. Impelementasi keterkaitan formulasi GHSA dan SDGs sebagai kebijakan, bertumpu kepada keamanan kesehatan dan akselerasi partisipasi masyarakat. SDGs adalah filosofi kebijakan merujuk kesejahteraan global. Entitas yang diberdayakan adalah ‘bak’ aliran air yang menderas teratur membawa energi perubahan dengan mengikis batu kerikil yang ditemui, menguak oksigenisasi baru di area stasiun pemberhentian sementara, mematri energi baru ke stasiun berikutnya.

     GHSA dan SDGs diibaratkan sebagai kunci dengan gemboknya. Kekuatannya saling mengunci dan memiliki dependensi satu sama lain. SDGs secara mendasar adalah proses menautkan bahasa universal pembangunan berbasiskan formulasi konsep keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan dalam lingkup sinergitas transformasi sustanaibility behaviour. Sustanaiblity behaviour merupakan spirit ekosistem berdayanya indikator pembangunan sebagai tujuan sosial, salah satunya adalah divergensi kekuatan ketahanan nasional dan pendidikan multi keilmuan dan kewilayahan. Divergensi ketahanan nasional merekonstruisi ancaman, tantangan, gangguan dan hambatan (ATHG) dengan mengembangkan SDGs sebagai alat ukur scientific health security, untuk menguatkan ketajaman dalam inklusi dan kebijakan ketahanan. Pendidikan multi keilmuan dan metoda kewilayahan dikembangkan terhadap sistem teritorial bangsa, sehingga memiliki kekuatan komunitas sosial dan SDM yang profesional untuk berkolaborasi dan menjaga networking health security.

       Konstruksi GHSA untuk mengisi komponen SDGs adalah menjembatani kerjasama kesehatan dan keamanan komunitas menghadapi ancaman biologik. Pemahaman yang berkembang saat ini, masing masing bekerja sendiri dan menggunakan pendekatan berbeda. Keterlibatan kesehatan global seharusnya tumbuh dalam keamanan nasional, melalui kolaborasi berbagai sektor. Dukungan keamanan komunitas, kesehatan hewan dan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan nilai kritis pencegahan dan respon terhadap ancaman biologik yang dapat terjadi secara natural, accidental atau akibat teroris dan penyebaran bahan biologik. GHSA sebagai gerakan koordinasi internasional berupaya keras untuk membentuk jejaring kesehatan berbagai sektor dan secara kolektif bekerja menuju keamanan dunia. Penguatan jangka panjang melalui kolaborasi, confidence, dan kapasitas untuk menurunkan ancaman biologik. Tiga prioritas GHSA adalah ;1) Pencegahan terjadinya epidemi;2) Deteksi ancaman biologik dini;3) Respon secara cepat dan efektif terhadap kejadian biologik sebagai konsen internasional. Upaya multisektoral internasional mengangkat kapabilitas dan sumberdaya sektor kesehatan untuk menghadapi ancaman biologik.

      Upaya pencegahan epidemik meskipun menghadapi kondisi tidak realistic terhadap outbreak yang terjadi, dapat dicegah melalui persiapan dan perencanaan yang matang. Tindak aksi yang dilakukan adalah survaillans, deteksi dini resisten anti mikroba dan penyakit zoonosis, program efektif imunisasi untuk mencegah outbreak dan peningkatan sistem nasional biosekuriti dan biosafety, dengan perencanaan dalam naungan komunitas internasional.

Deteksi dini ancaman adalah kemampuan mengenal kejadian biologik darurat dan kritis secara efektif respon kejadian dan dampak yang ditimbulkannya. Framework yang dikembangkan adalah biosurvaillans global, jejaring pelaporan, penguatan sampel dan sharing reagen, membangun kapabilitas laboratorium diagnostik akurat, peningkatan penyebaran pelatihan SDM dan biosurvaillans, akan memperkuat kapasitas global untuk mendeteksi, mengkarakterisasi dan pelaporan ancaman keamanan biologik sedini mungkin. Kondisi ini merupakan kewaspadaan global terhadap ancaman keamanan melalui aksi yang tepat.

       Respon secara cepat dan efektif walaupun bermakna untuk pencegahan outbreak, upaya peningkatan survaillans dan deteksi dini tidak berdiri sendiri sebagai sarana solusi menghadapi ancaman biologik. Jejaring global terhadap pusat operasi, berkemampuan menghadapi respon multisektoral terhadap insiden biologik dan meningkatkan akses global baik akibat medik dan non medik saat kejadian emergensi, keputusan yang mendasar dengan alat ukur dan informasi akurat, menentukan respon efektif menghadapi outbreak.

Rumah Sakit Rujukan: Transisi Nasional dan Global

      Transisi rumah sakit rujukan merupakan kehendak sejarah. Gerak tapak kuda yang dijejak akan menjadi rantai kebijakan pelayanan yang bersinergi dengan kondisi akar rumput problematika kesehatan di masyarakat. Kesehatan masyarakat mengungkap roda-roda penyebaran penyakit dalam kerangka regular atau kejadian luar biasa (KLB). Nilai numerik dan katagorik  muncul menjadi dimensi meningkatnya kadar kebencanaan dan angka kematian yang timbul diakibatkan suatu epidemi.

        Rumah Sakit Rujukan memiliki tanggung jawab untuk membenahi dan meretrospeksi peran selama ini dengan mengedepankan asas warning sign kedaruratan sebagai ikon kewaspadaan (preparedness). Ruang ini akan semakin besar jika menghadapi kondisi kedaruratan yang tidak sekedar kebencanaan, namun pencegahan melalui pemberdayaan infrastruktur dan sumber daya akibat agen biologik menjadi azas prioritas.

        GHSA sebagai kebijakan kesehatan nasional berperan sebagai alat ukur menangani outbreak terlaksana secara sistematis dan terprogram, dengan keluaran adanya penyangga yang berfungsi dalam detect, respons dan prevent. Salah satu contoh yang perlu diajukan adalah upaya menghadapi tantangan respon global outbreak ebola yang menjadi pandemik di Afrika. CDC bekerja intensif dengan berbagai mitra untuk mengatasi dan menghentikan wabah dengan meningkatkan protokol skrining arus pelancong yang melalui wilayah penyebaran penyakit ini, dan menggalang kemampuan dokter untuk memiliki kewaspadaan terhadap EVD (Emerging Viral Diseases). Tiga intervensi penting menghadapi wabah ebola ini, adalah melalui penemuan kasus dan kontak yang lengkap, respon yang efektif untuk pasien dan masyarakat dan intervensi pencegahan.

         Terdapat tiga intervensi pencegahan utama. Pertama, pengendalian infeksi yang cermat jalur lapangan – rujukan dan perawatan kesehatan. Penyebaran terjadi bukan dari pasien yang sudah di diagnosis, namun dari terlambatnya deteksi dan isolasi. Kedua, mendidik dan mendukung masyarakat untuk mencegah kontak dengan cairan tubuh orang yang telah meninggal dan memodifikasi pemakaman lokal. Dengan demikian, penyebaran EVD dapat dikendalikan dengan menutup rute penyebaran virus. Proses kedua ini perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan yang membentuk kultur preventif. Ketiga, menghindari kontak dengan daging hewan liar dan kelelawar (reservoir utama ebola) yang akan mengurangi masuknya virus ebola ke manusia. Namun demikian, virus ebola adalah musuh yang tangguh dengan pertanyaan yang belum terjawab diantaranya, masih adanya kontak yang sakit, isolasi yang tidak adekuat, pengendalian infeksi dan keselamatan praktik pemakaman sebagai rantai transmisi.

       Konsep Elemen dan Aplikasi GHSA mengatasi outbreak Ebola dicontohkan untuk mengatasi rantai transmisi adalah sebagai tabel berikut:

Tabel 1 Konsep Elemen dan Aplikasi GHSA mengatasi outbreak

Dikutip dari Thomas S Frieden dkk (2014)

       Hal yang mengemuka diatas, menjadi pembelajaran kebijakan outbreak ebola sebagai awareness menerapkan kontrol keamanan kesehatan melalui strategi preventif, pemberian vaksin dan pengobatan antivirus. Strategi preventif bertujuan untuk mencegah keamanan kesehatan global lebih baik. Penyebaran vaksin dan antivirus merupakan salah satu upaya (walaupun fase penelitian) dengan perawatan medis yang optimal, akan mengurangi tingkat kematian secara substansial. Namun pasokan yang terbatas dan memerlukan persetujuan etika eksperimental menjadi tantangan tersendiri, mengingat efektifitas vaksin untuk melindungi petugas kesehatan dan potensi orang untuk terkena wabah.

        Bagaimana peran rumah sakit rujukan menghadapi kondisi saat ini? Perlu perspektif tersendiri terkait dengan transisi nasional dan global. Belajar dari outbreak ebola, karakteristik rumah sakit rujukan harus menguatkan kapasitas kewaspadaan (preparedness) dengan fasilitas mumpuni (struktur, SDM dan networking). Transisi ini menguak peran sinergitas kohesi diantara peran nasional dan global. Peran nasional terbentuknya pusat-pusat unggulan emergensi rumah sakit rujukan dengan spesifikasi layanannya, menaut peran evakuasi komunitas dan peran internasional mengimplementasikan pusat unggulan emergensi dalam kerangka GHSA yaitu institutional leader dalam rapid-detect-prevent-respond.

        Rumah Sakit Rujukan dalam manajemen outbreak, bergerak melalui proses dan diseminasi sosial dalam perspektif pendekatan komunitas. Pendekatan ini mengungkap keterlibatan masyarakat yaitu melekatkan partisipasi dan potensi grass root lembaga swadaya masyarakat. Diharapkan, koneksivitas akan memunculkan jejaring yang lebih kuat sejak titik outbreak pertama kali. Pendekatan komunitas akan menjadi wadah berjalannya edukasi pemahaman masyarakat dan transfer pengetahuan kejadian infeksi serta dampaknya untuk memperkuatdan empati deteksi dini terhadap wabah. Konteks lebih lanjut, terbangunnya sistem komunikasi dan informasi yang akan memberdayakan entitas jaringan informasi dan komunikasi masyarakat untuk mengurai problematika isolasi, jalur rujukan dan penanganan cepat outbreak.

Rumah Sakit Rujukan dalam Perspektif Bio Risk dan Bio Threat

        Peran rumah sakit rujukan dalam perspektif Bio Risk dan Bio Threat mengemuka dalam diskusi-diskusi biosecurity, mengingat fungsionalisasi perangkat pemberdayaan menghadapi ancaman yang tidak hanya terhadap outbreak penyakit infeksi, namun juga adanya potensi dari bahan biologik dan kimia.

      Mengkaji uraian diatas, pemahaman manajemen risiko merupakan inti dari mengembangkan kerangka teori dan konseptual rumah sakit rujukan berbasiskan kaidah keilmuan dan adaptasi pemberdayaan organisasi.

      Manajemen risiko adalah aktivitas organisasi terarah dan terkoordinasi, yang berkaitan dengan risiko dan terdiri prinsip, kerangka kerja dan proses. Pendekatan utama dari manajemen risiko adalah merangkai identifikasi, analisis, evaluasi dan perlakuan risiko dalam konteks risiko individual (individual risk) dan risiko komunitas (community risk). Prinsip ini kemudian dapat ditarik katagorik risiko terutama dalam menghadapi kejadian bencana / outbreak. Langkah lebih lanjut adalah menyusun kebijakan strategi risiko.

        Menurut Anderson & Schorder katageri risiko adalah; 1) risiko bencana (hazard);2) risiko ekonomi; 3) risiko operasional (operational risk) dan;4) risiko strategis (strategic risk)

Salah satu contoh menghadapi suatu kejadian outbreak/ bencana katagori risiko disusun sebagai berikut:

Tabel 2 Katagori Risiko

            Proses manajemen risiko merupakan serangkaian langkah sistimatis untuk membantu mengelola peluang dan ancaman bagi ketercapaian sasaran terukur dan terkendali. Skema manajemen risiko adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Modifikasi Proses Manajemen Risiko pada Bio Risk dan Bio Threat (dikutip dari Susilo dkk, 2018)

          Menghadapi Bio Risk dan Bio Threat memerlukan penguatan fungsi laboratorium rumah sakit dalam kerangka biosafety. Kapasitas tersebut mencakup program kerjasama teknik (pendidikan dan pelatihan mikrobiologi) dan penelitian penyakit infeksi yang berlangsung dalam siklus periodik. Pemerintah sebagai otoritas keamanan tertinggi, menyelenggarakan pertemuan tahunan yang mencakup ;1) Survey persepsi dan pengetahuan partisipan ;2) Standarisasi penilaian kapasitas biosafety beberapa laboratorium. Berdasarkan protokol training biosafety mencakup evaluasi penilaian dengan empat katagori yaitu;a) Keteknikan ;b) Alat Pelindung Diri (APD);c) Standar Operating Procedure (SOP ) dan ;d) Kontrol administrasi. Pendidikan dan pelatihan tersebut berhasil merevitalisasi komite pendidikan biosafety sebagai kepentingan institusional untuk membentuk suatu ekosistem keempat katagori biosafety berjalan dengan optimal. Spirit mengembangkan riset, pendidikan dan pelatihan memberikan efek positif terhadap penguatan biosafety institusi

         Perubahan paradigma biosafety dalam implementasi laboratorium ilmiah ditujukan untuk melindungi personil dan lingkungan berpijak kepada nilai inti etika keilmuan sebagai komponen riset internasional.  

          Beberapa faktor terkait dengan biosafety tidak dapat dilepaskan dari kecepatan dan volume perjalanan dan perdagangan dengan memungkinkan agen-agen infeksi menyebar (manusia, bahan makanan atau hewan) yang dapat berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dalam hitungan jam (Scotto,2011). Beberapa tahun terakhir ini, dunia disibukkan dengan kemunculan kembali patogen yang memiliki konsekuensi pandemik (IOM &NRC, 2009). Ancaman berkesinambungan ini mempromosikan perluasan jaringan ilmiah dan kolaborasi kesehatan transnasional yang sebelumnya belum terjadi, berdasarkan pengetahuan dan alih teknologi serta berbagi patogen.

        Dimensi    biosafety   menghadapi globalisasi penyakit infeksi dan peran laboratorium sebagai inti solutif menjadi penting. Diantara contoh sebelumnya, hipotesis laboratorium menyebarnya strain virus influenza H1N1 dengan lebih lanjut terjadi re-assortment dan menyebar ke populasi manusia (Gibbs et al, 2009). Saat ini kemampuan bioteknologi memproduksi modifikasi organisme hidup memerlukan upaya untuk memformulasi dan mengimplementasi regulasi yang dapat diadaptasi berbagai negara dan regional, untuk meminimalkan risiko potensial seperti organisme yang memiliki karakteristik ekositem, baik pada manusia dan binatang (McLean et.al,2001). Pengalaman sebelumnya terhadap penyalahgunaan dan tersebarnya patogen berbahaya, telah menciptakan upaya global mengintegrasikan pengetahuan dengan prinsip biosafety dan biosecurity berbasiskan konsep manajemen biorisk. (Rudelsheim,2008). Ancaman bioterorisme walaupun kecil, namun berdampak konsekuensi yang tidak terukur terhadap kesehatan masyarakat, perdamaian global dan ekonomi. Kenyataan yang ada ditinjau perspektif geopolitik faktor yang dikemukakan diatas menjadi urgensi adanya suatu kapasitas kerjasama global. (Chua et al., 2009; Nayef et al., 2007; Salerno et al., 2007)

       Penguatan biosafety dan biosecurity tidak hanya berpijak kepada prinsip isolasi,tetapi  framework  elemen lebih besar terhadap penguatan GHSA. Variasi framework dan guidelines adalah mengkreasi untuk menilai dan penguatan kapasitas jejaring kesehatan masyarakat dan laboratorium sebagai investasi fungsi leadership terhadap kejadian luar biasa (pandemik) dan bioterorisme. (Delany et al., 2011; Marshall et al., 2010).

           Leadership merupakan rantai penting menjembatani multiple partner merencanakan, mengelola dan memutuskan aksi periodik sistem laboratorium kesehatan masyarakat. Partner yang bertanggung jawab adalah institusi pendidikan, berfungsi mempersiapkan profesional menjadi regulator, pimpinan atau pengambil keputusan. Universitas dan jejaringnya dapat berperan fundamental di bidang pendidikan dan pelatihan. Menurut Lucero et al (2005) karakterik laboratorium akademik yang dimunculkan melalui pendidikan dan riset, keduanya merupakan kunci untuk mempromosikan kultur biosafety. Secara faktual, pendekatan sistem mencakup pendidikan dan pelatihan adalah esensi untuk memperbaiki manajemen biorisk untuk setiap tingkatan (CEN,2008).

Tantangan yang dihadapi oleh negara berkembang untuk menguatkan eksistensi biosafety dan biorisk, secara praktis adalah upaya yang kuat menjembatani kerjasama teknik. Salah satu alat ukur adalah menurunkan secara signifikan angka morbiditas dan mortalitas menghadapi beberapa fase periodik infeksi dan pengendalian vektor seperti demam berdarah dengue dan kekuatan energi untuk menghadapi tingginya infeksi akibat HIV/AIDS dan tuberkulosis. Disisi lain,kekuatan korporasi menghadapi infeksi H1N1 sebagai patogen yang menyebabkan outbreak melewati lintas bangsa.

Setiap negara setidaknya menguatkan sistem dan struktur health security-nya dengan pasukan pertempuran yang kuat mencakup efektivitas laboratorium klinik yang bersinergi dengan aktivitas kesehatan masyarakat. Perangkat yang canggih didukung oleh profesional dan ilmuwan kesehatan yang memiliki kompetensi dan keahlian untuk bekerja secara optimal menghadap agen infeksi dengan pola keamanan berkelanjutan. Keterlibatan Universitas utama dalam kerjasama teknik penguatan kapasitas riset dan aspek praktis biosafety akan berdampak kepada evaluasi eksternal biosafety yang melingkupi interaksi internalisasi analisis dampak kesehatan dan eksternalisasi evaluasi manajemen kesehatan.

Rumah Sakit Rujukan: Manajemen Risiko Adaptif

     Pendekatan manajemen risiko adaptif merupakan suatu keniscayaan. Rumah sakit rujukan perlu memfokuskan kapasitas dan fasilitas laboratoriumnya sebagai bagian manajemen risiko keamanan hayati, terhadap kemungkinan transmisi agent yang berimplikasi kesehatan masyarakat. Dalam konteks teknologi genomik, risiko tidak muncul dari agent tetapi berkembang dari konstruksi sintetik baru.

       Teknologi yang mencakup rekayasa genom, integrasi konstruksi genom dan modifikasi organisme didukung oleh gen drives dengan penyebaran efektif lingkungan, memerlukan pendekatan multidisiplin untuk memastikan teknologi yang digunakan, menyimpulkan adanya konsekuensi risiko yang tidak terduga dan diketahui.

        Laboratorium mikrobiologi dan biomedis rumah sakit rujukan dalam kebijakannya berkemampuan mengelola keamanan hayati, mendefinisikan penilaian risiko dan proses identifikasi karakteristik bahan infeksius berbahaya yang berpotensi menular, bahkan paparan agent tersebut dapat menyebabkan infeksi di laboratorium. Hal tersebut menjadi titik balik laboratorium untuk menerapkan panduan keamanan hayati melalui praktik mikrobiologis yang tepat, tingkat keselamatan peralatan dan perlindungan fasilitas yang dapat mencegah infeksi yang didapat di laboratorium.

Mengkaji uraian yang dikemukakan diatas, suatu kerangka kerja penilaian risiko biologik perlu perlu dilakukan sejak tahap perencanaan berbasiskan evaluasi dan monitoring keselamatan tepat dengan menggunakan teknologi. Penilaian yang dilakukan berbasiskan sinergitas teknologi sebagai alat ukur diagnostik akurat dengan risiko minimal paparan pada manusia.

Bagaimana mendisain manajemen risiko adaptif sebagai elemen dasar praktik keamanan hayati? Membangun pendekatan multidsiplin yang melibatkan ilmuwan dan penyelidik, profesional keamanan hayati, ahli etika dan kepemimpinan kelembagaan. Disain tersebut bertumpu kepada penilaian risiko keamanan (biosafety) dari teknologi yang dikembangkan dan menyediakan cara untuk mengeevaluasi biosecurity dampak lingkungan dari penelitian yang diusulkan. Dalam tataran praktis, langkah pertama adalah membentuk tim manajemen risiko. Kolaborasi mencakup ilmuwan, profesional bidang keselamatan, komite institusional keamanan hayati, komite perawatan (hewan coba dan kelembagaan) terhadap sifat percobaan dan bahan atau tes subyek yang terlibat. Pada titik ini, konsultan etika dan urusan publik untuk memastikan bahwa percoaan yang diusulkan dapat dinilai melalui perspektif non sains/ input teknik.

Teknologi yang muncul dengan risiko teknologi baru, memerlukan analisis dan disain manajemen risiko terhadap mitigasi risiko efek biosecurity dan hasil potensial yang terjadi atau mungkin yang tidak dihasilkan dari percobaan. Manajemen risiko adaptif spesifik ini memerlukan keterlibatan Akademi Ilmu Pengetahuan, pakar rekayasa teknik dan kedokteran nasional, mengingat regulasinya memerlukan peraturan pemerintah yang spesifik. Komponen percobaan dan sistem pengaturan bioteknologi menurut laporan Gene Drives on the Horizon, panitia penilai memonitor dan mengevaluasi percobaan berbasis laboratorium melalui struktur pengawasan yang kuat, untuk mempertimbangkan penelitian baru dan kontroversial, misalnya penelitian teknologi penggerak gen dalam kerangka sistem yang beradaptasi terhadap tantangan yang selalu berubah.

         Tim manajemen risiko akan menganalisis tentang sifat percobaan (penggunaan hewan coba, penggunaan teknologi, paparan) apakah berkonsekuensi lingkungan secara langsung atau tidak langsung terhadap manusia. Konsep penting berikutnya adalah potensi risiko biosecurity, apakah meningkatkan penularan penyakit yang mematikan? Apakah bisa terjadi secara tidak sengaja? Bagaimana dengan jenis penelitian yang akan dilaksanakan, apakah memerlukan perhatian khusus? Mengingat perubahan yang signifikan (percobaan gen drives) pemantauan mitigasi risiko terhadap lingkungan yang tidak disengaja terhadap paparan manusia dan hewan. Adanya organisme yang lepas dari pengaturan laboratorium selama percobaan akan memiliki dampak signifikan berkembangnya penyebaran populasi organisme dan berdampak membahayakan.

Upaya saat ini yang dilakukan adalah mengembangkan model matematika melalui modifikasi disain perencanaan dan pelaksananaan penelitian, penerapan langkah-langkah biosecurity atau biosafety yang spesifik, tinjauan berkala tingkat kelembagaan temuan penelitian yang muncul, dan adaptasi dari praktik manajemen risiko. Dengan demikian, penelitian yang memiliki dampak buruk terhadap keamanan hayati, disain keseluruhan proposal penelitian dan eksperimen yang diajukan, memerlukan pertimbangan dengan bertumpu kepada konstruksi dan aktivitas berisiko tinggi dengan aktivitas berisiko rendah, melalui modifikasi meniadakan parameter-parameter potensial risiko tinggi.

     Strategi adaptif berikutnya adalah penerapan ekosistem berkelanjutan, berupa peningkatan kapasitas lingkungan terhadap keamanan hayati. Penelitian dengan penggantian elemen berisiko tinggi yang tidak memungkinkan, tindakan keselamatan dan keamanan ditingkatkan dengan memanfaatkan mekanisme penahanan molekul yang melekat dalam organisme tertentu, dengan mengadaptasi aspek praktik dan prosedur. Prosedur tersebut adalah manajemen kontrol organisme melalui implementasi tindakan penahanan molekul, ekologi dan reproduksi pada area kerja laboratorium. Manajemen risiko dan mitigasi dilaksanakan diluar prosedur biokontaminasi, misalnya penggunaan unit kandang khusus, wadah pengangkut, prosedur penanganan khusus berkemampuan mengontrol pekerjaan dengan mikroorganisme yang membawa konstruksi baru dan mengurangi pekerjaan.

         Bio Risk dan Bio Threat merupakan proses teknologi yang dinamis, tidak dapat diperlakukan sebagai proses statis. Proyek penelitian yang terkait, memiliki nilai mitigasi dan risiko tidak hanya institusional namun kompleksitasnya dapat menjadi masalah global. Pendekatan multidisiplin ilmuwan, manajemen risiko, komunikasi dan evaluasi berkala menjadi kunci untuk memastikan eksperimen penelitian berjalan secara konsisten. Monitoring dan evaluasi Komite Pengawas memastikan aktivitas yang dilakukan “tangan kiri” diketahui oleh “tangan kanan”.

Strategi tersebut dapat digambarkan dalam gambar dibawah ini:


Dikutip dari Jeantine E. Lunshof (2017)

Rumah Sakit Rujukan : Dilema Etik dan Konklusi Tangggung Jawab Komunitas

      Rumah Sakit Rujukan menghadapi perkembangan teknologi terutama terkait dengan biologi sintetik menjadi suatu pertanyaan dilematis, apakah ada kaidah unik etika biologi sintetik secara filosofis untuk menjawab pertanyaan kreasi intervensi teknologi biologi yang sedemikian cepat. Menghadapi beragam dilematis tersebut, memerlukan suatu perspektif melihat teknologi yang muncul, berkonsideran dengan lingkup ekosistem natural pendayagunaan laboratorium menghadapi sistem risiko yang kompleks sebagai analisis etik.

Pada titik ini manajemen dan risiko bergerak pada jalur yang sama, mengayuh konteks probabilitas, keluaran dan ketidak pastian risiko pada tangka nol. Kemampuan memutuskan manajemen risiko, penelitian dan aplikasi prospektif terhadap teknologi yang muncul pada biologi sintetik sebagai dilemma etik, yaitu keuntungan dan risiko, apakah memiliki legalitas dan mampulaksana dan bagaimana dengan pembiayaan yang dikeluarkan. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam mempertimbangkan terhadap biosafety risk assessment terhadap genomic science dan engineering.

Pertimbangan etik terkait biologi sintetik terbagi dua katagori. Pertama, legalitas rekayasa biologi dengan mengubah organisme hidup dan lingkungan, terkait pertimbangan kualitas moral dan intervensi. Konteks yang menjadi pertanyaan apakah perubahan biologik sintetik memiliki perbedaan dengan perubahan alami dan spontan. Bagaimana relasi dengan sistem nilai, budaya dan agama, kaidah alam tidak lebih unggul dari buatan. Kondisi konkrit adalah dimensi baru perubahan genom organisme dengan perkembangan sistem presisi tinggi yang diperbarui dengan sistem CRISPR. Kedua, pendekatan tradisional konteks pengeditan genom dari perspektif etik melihat konsekuensi tindakan. Beberapa aspek yang menjadi fokus sejauhmana implementasi teknologi memberikan dampak dalam pengelolaan eksosistem sebagai nilai realitas. Bertitik tolak hal tersebut dianalisis sejauh mana memiliki nilai potensial berbahaya bagi kesejahteraan manusia, sehingga dapat dibuat perencanaan dan tindakan pencegahan yang efektif.

     Mengkaji uraian diatas, analisis teoritis mendalam tindakan pencegahan merupakan konsep yang memiliki ruang gerak terhadap ketidakpastian hasil dan proporsionalitas perkiraan manfaat dan bahaya teknologi yang muncul pada tingkat kebijakan publik dan tata kelola risiko.Impelementasi yang dikembangkan adalah prinsip kehati-hatian pengambilan keputusan terkait dengan pencegahan, risiko efektif melalui teknologi konkret dan penelitian. Pendekatan secara tim terintegrasi akan memaksimalkan dua aspek yaitu keselamatan kerja dan kemajuan ilmiah. Pendekatan yang dikembangkan merujuk prinsip kemitraan tanggung jawab bersama tim ahli yang bergerak di bidang keamanan hayati dengan komunitas ilmiah. Pertimbangan kemitraan adalah tanggung jawab bersama dampak yang timbul akibat penggunaan teknologi baru, berbasiskan penilaian risiko dan manajemen risiko berikutnya.

      Rumah Sakit Rujukan sebagai organisasi utama alur akhir pelayanan, dengan pengembangan fasilitas laboratorium seiring derasnya arus teknologi dan menjalankan fungsi penelitian, dalam tautan waktu tertentu, memerlukan suatu kebijakan yang mengingat kapasitas fungsionalnya di bidang kemitraan keamanan.

Kesimpulan

            Rumah Sakit Rujukan dalam tataran Global Health Security Agenda (GHSA) memberikan perspektif baru kekuatan potensi dan kapasitas rumah sakit mengembangkan fungsionalisasi alur kompetensi Bio Safety dan Biosecurity dalam pendayagunaan laboratorium khusus bidang infeksi. Pendekatan Integrasi Scientific Health Security – Bio Threat – Divergensi Ketahanan Nasional akan bergerak dalam tataran yang berkelanjutan.

Rujukan

  1. Flahaulta A, Wernlib D, Zybermanc P, Tanner M. From global health security to global health solidarity, security and sustainability. Bulletin of the World Health Organization 2016;94:863. doi: http://dx.doi.org/10.2471/BLT.16.171488
  2. Addressing the global health security agenda (Editorial). www.thelancet.com/infection Vol 14   April 2014
  3. Robin M. Moudy, Michael Ingerson-Mahar, Jordan Kanter, Ashley M. Grant, Dara R. Fisher, and Franca R. Jones. Bridging the Health Security Divide: Department of Defense Support for the Global Health Security Agenda. Biosecurity and Bioterrorism: Biodefense Strategy, Practice, and Science Volume 12, Number 5, 2014
  4. Susilo L, Kaho VR. Manajemen Risiko Berbasis ISO 31000:2018 Panduan untuk Risk Leaders dan Risk Practitioners. PT Grasindo, 2018
  5. Jeantine E. Lunshof, Angela Birnbaum. Adaptive Risk Management of Gene Drive Experiments: Biosafety, Biosecurity, and Ethics. Journal of ABSA International 2017, Vol. 22(3) 97-103
  6. Thomas R. Frieden, M.D., M.P.H., Inger Damon, M.D., Ph.D., Beth P. Bell, M.D., M.P.H., Thomas Kenyon, M.D., M.P.H., and Stuart Nichol, Ph.D. Ebola 2014 — New Challenges, New Global Response and Responsibility. n engl j med 371;13 nejm.org september 25, 2014

————————————————————-

Dr.dr.Soroy Lardo,SpPD FINASIM. Kepala Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto. Doktor Lulusan Universitas Gadjah Mada

Bagikan